Bukan. Yang kigendeng permasalahkan bukanlah soal apakah BI menetapkan standar ganda, atau isu resiko sistemik hanya akal-akalan belaka, semuanya masih penuh kabut misteri dan sulit diungkap tanpa investigasi lanjutan.
Justru yang kasat mata yang aneh, setidaknya 2 hal:
1. Mengapa isu century justru semakin fokus pada pencopotan Boediono dan Sri Mulyani alih-alih mencoba meminta keterangan lebih lanjut dari Robert Tantular. Tentu bukannya mentah-menatah percaya tidak ada keterlibatan dua tokoh tersebut, tetapi isu tersebut sudah terlalu jauh dan merusak stabilitas ekonomi makro yang membaik. Bukan kah media juga yang tiap tahun memuja-muji Sri Mulyani bak dewi penyelamat?
dan yang paling lucu,
2. Mengapa anggota dewan (DPR) dengan dalih "demi rakyat" menjadi pihak yang paling sibuk dengan raibnya 6,7 trilliun. Seharusmya yang ribut adalah bank-bank yang tergabung dengan LPS (Lembaga Penjaminan Simpanan) kan? Toh, 6,7 Triliun berasal dari premi anggota , bukannya APBN? atau jangan-jangan ada uang anggota dewan tersebut yang masih tersendat di Century?
This is Indonesia!
Friday, November 27, 2009
Keanehan Kasus Century
Thursday, October 22, 2009
“Bagaimana Ekonomi Bekerja di Kehidupan Sehari-Hari”
Setelah termenung sekitar dua puluh menit, tampaknya tidak ada kata-kata yang lebih baik untuk menggambarkan seluruh isi tulisan singkat ini selain judul tulisan di atas. Kata-kata itu pula yang dirasa paling pas menggambarkan isi, makna, tujuan, dan insentif saya menulis blog “memoarekonomi.blogspot.com”. Sebagai mahasiswa fakultas ekonomi, sungguh tidak adil rasanya menyimpan sendiri betapa menyenangkannya ekonomi itu. Banyak sisi-sisi yang hampir tidak tergali oleh apa yang mungkin orang awam pahami. Namun, sebelum bicara lebih jauh satu pertanyaan yang terlintas adalah bagaimana saya membagikannya? Setelah mengeliminasi beberapa opsi-opsi konyol, pilihan jatuh pada blog. Alasannya cukup sederhana, blog menjangkau seluruh orang di dunia, asalakan komputer atau laptop mereka terkoneksi tentunya. Kita bebas menuliskan pendapat dan bebas memberikan komentar. Hal ini baik sekali untuk memicu diskusi-diskusi dengan perspektif yang beragam.
Dunia ekonomi sungguh menyenangkan. Itulah kira-kira pesan utama blog ini. Selama ini masyarakat awam hanya mengetahui ekonomi sebagai sesuatu yang kaku dan tidak jauh-jauh dari uang. Pendapat yang separuhnya benar, tapi separuhnya salah. Ekonomi justru lebaih jauh lagi daripada uang. Betapa prinsip-prinsip ekonomi justru dapat menjelaskan menagapa seseorang bertindak, atau dalam skala besar mengapa sebuah negara mengambil kebijakan. Mungkin sebagian dari kita sudah pernah membaca Freakonomics kataya Steven Levitt (bagi yang belum sebaiknya segera membeli buku ini). Levitt berhasil membawa pesan lain dari ilmu ekonomi, dia berhasil meyakinkan bahwa manusialah obejk utama ilmu ini. Secara bawah sadar kita bertindak sesuai suatu mekanisme yang tak terlihat. Motif-motif yang selama ini terselubung, secara iseng diselidiki oleh ekonom-ekonom untuk sekedar iseng atau tujuan yang lebih jauh. Sejalan dengan Levitt, blog “Memoar Ekonomi” menghadirkan sebuah perspektif yang berusahan mendekatkan dunia nyata dengan ilmu-ilmu ruang kelas.
Topik-topik usil seperti, Mengapa Zlatan Ibrahimovic pindah ke Barcelona? Bagaimanakah judul lagu menggambarkan prinsip-prinsip ekonomi? Hingga topik sedikit berbobot seperti supply and demand, apakah hutang itu baik? Mengapa impor gula masih diperlukan? Dibahas dengan tentunya keterbatasan seorang mahasiswatingkat strata satu (S1). Bagaimanapun juga, lewat blog ini, pembaca diajak “menggaruk” isu-isu yang beredar dari perspektif ekonomi. Pesan moralnya adalah kehidupan kita tidak terlepas aspek ekonomi, tentu bukan soal uang dan profit semata.
Monday, October 19, 2009
SBY's Appetite
Indonesia masih menunggu "peluncuran" Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II setelah pidato pelantikan baru saja berlangsung. Isu paling seksi tetaplah pos-pos ekonomi. Setidaknya ada dua pos penting Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian
Sri Mulyani memberikan harapan akan konsistensi kebijakan yang selama ini mampu, setidaknya mengangkat Indonesia dari krisis, walaupun di sisi lain merupakan berita buruk bagi pengusaha bandel yang berharap akan kelonggaran pajak. Menteri Keuangan relatif aman kritik, tapi bagaimana dengan Menko Perekonomian?
Sulit menduga Hatta Rajasa terpilih dari sekian banyak opsi ahli-ahli "murni" ekonomi. Agak sulit menerka-nerka apa alasan kuat SBY memilih beliau. Isu "anak emas" sudah menempel pada Hatta Rajasa, melihat kesetiaannya mendampingi SBY sejak tahun 2004.
Bukan bermaksud membela, tetapi masih ada sedikit benang merah yang cukup rasional dalam kasus ini. Sejak awal ada indikasi bahwa Boediono sebagai wapres akan punya porsi besar dalam pengambilan kebijakan ekonomi. Melihat hal tersebut ada satu hal penting yang selalu didengungkan oleh Boediono, soal infrastruktur (baca posting sebelumnya).
Di sinilah celah benang merah tersebut. Hatta Rajasa sudah memimpin Departemen Perhubungam dari tahum 2004 - 2007. Tentu 4 tahun tersebut merupakan waktu yang cukup untuk mengenal tantangan sistem perhubungan kita. Selama ini sistem transportasi ditufing (bahkan oleh Boediono) sebagai sumber high-cost economy yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam hal ini, termasuk dalam pengembangan potensi daerah dan pengentasan inequality pusat-daerah.
Justru posisi Hatta akan sengaja dispesialisasikan untuk menyelesaikan masalah tersebut lewat pos yang lebih sentral yaitu Menko Perekonomian. Dengan bekal pengalaman masa lalu Hatta Rajasa bisa melakukan analisa mendalam dan mengambil kebijakan yang tepat untuk solusi ini. Sedangkan masalah perekonomian yang lain ditangani Boediono. Ujungnya, sebenarnya di departemen koordinasi Perekonomian terdapat duumvirate leader (dwitunggal kepemimpinan) yang tidak tampak. Duet pemimpin inilah yang mungkin diharapkan saling melengkapi
Tentu ini sekedar analisa dan murni opini. Hanya SBY yang tahu tujuan teknis-politis dalam penujukkan ini. Yang patut diingat, setidaknya ada 2 hal penting dari sisi ekonomi. Pertama, SBY harus bisa meyakinkan pasar bahwa pilihannya tepat, sebab ketidakpercayaan pasar sangat mengganggu stabilitas yang selama ini menjadi citra pemerintahan SBY. Kedua, SBY dan kabinet barunya di bidang ekonomi bisa melakukan program sinergis antar-departemen lewat perncanaan jangka panjang, idealnya lebih dari sekedar agenda 5 tahunan.
Blogging Economist Generation
Dalam ilmu ekonomi tentu kita mengenal pentingnya information. Bahkan, informasi asimetrik merupakan salah satu penyebab kegagalan pasar yng amat dikenal. kekuatan informasi inilah yang juga menjadi obyek kajian menarik dalam menimbang kembali berbagai konsep mulai pasar bebas, laissez faire, hingga mitos kaptalisme. Tetapi kita akan sedikit rileks dan menaruh sejenak topik-topik berat tadi ke kantung pikiran kita. Yang ingin kita bahas di sini merupakan kasus simpel, bagaimana informasi benar-benar menyebar ke seluruh dunia dan berhasil menjadi kekuatan yang benar-benar 'invisible hand' menggerakkan masyarakat banyak. Tersangka utamanya jelas internet.
Internet memangkas biaya pengiriman pos surat dalam beberapa detik dengann sedikit bunyi 'klik' sesekali. Informasi benar-benar tumpah. Thomas Friedman dalam The World is Flat menyamakan kehadiran internet setara runtuhnya tembok berlin. Sebuah kebebasan yang tak terduga membanjiri seluruh dunia. Termasuk blog.
Blog bukan sekedar diari-diari pribadi atau website pribadi. Terkait dengan apa yang kita bahas, blog merupakan contoh kekuatan informasi. Sungguh tidak terbayangkan orang begitu mudah menyampaikan ide, berdiskusi, atau sekedar narsis di depan jutaan masyarakat dunia. Tanpa border negara, suku, ras, dan budaya. Tentu tidak sepenuhnya masih ada border bernama biaya kan?
Namun, lebih menarik lagi bahwa jika kita sadari pengguna blog bukanlah sekedar orang-oprang iseng. Terlebih dalam bidang ilmu ekonomi, sungguh fantastis melihat pemikiran-pemikiran brilian sekelas Prof. Greg Mankiw, Peraih Nobel Paul Krugman, hingga si nyeleneh Steven Levitt tumpah ruah dalam blog-blog pribadi mereka. Ekonom-ekonom sekelas mereka dapat dengan cepat menanggapi fenomena-fenomena yang terjadi sehari-hari. Tanpa erlu repot mencari jurnal-jurnal mereka (yang tentu memungut waktu dan biaya) dengan blog kita dengan mudah melihat bagaimana mereka melihat dunia dibalik kacamata economics mereka. Intinya adalah arus ide yang cepat ditanggapi masyarakat. Tentu tak bisa dibayangkan seorang dari Merauke bisa menaggapi tulisan Professor dari Harvard hanya lewat blog.
Begitu pula dengan blog ini, walaupun masih muda dan asal-asal saja, spirit yang sama tetap dibawa. Membawa ide-ide segar tanpa takut kehadapan masyarakat luas yang terbuka. Betapa baif dan sok tahunya tulisan-tulisan ini bukan problem utama. Toh, jika jelek lupakan saja atau caci maki saja. Yang jelas generasi baru sudah muncul. Lewat blog seharusnya ekonom-ekonom muda (mahasiswa dan pelajar) kita berani mengeluarkan pendapat sekedar memberi sumbangsih bagi iklim diskusi yang mulai dimonopoli sepakbola, politij, hingga Miyabi.
Tentu pandangan ini tidak tertutup bagi pemikiran-pemikiran lain di luar ekonomi. Idenya jelas jadikan blog sarana kita untuk berkembang dan biarkan dunia tahu celotehan kita. Selamat blogging teman!
Sunday, October 18, 2009
Charter Cities: Radical Concept for Development
Ada sebuah pertanyaan besar dalam ekonomi pembangunan (economics development). Apakah negara-negara maju dapat berperan dalam membantu perkembangan negara -negara berkembang? Sebagian besar dari kita akan berkutat dengan sinisme dan bayang-bayang imperialisme modal asing ataupun segera mmembayangkan liberalisasi ala IMF dan lain-lainnya. tetapi Paul Romer (ekonom Stanford University) menjawab "bisa" dengan cara yang lain. Konsepnya cukup radikal, mengembangkan sebuah charter cities". Mengapa kota?
Inspirasi datang dari Hongkong. Sebuah kota dengan perekonomian termaju di China. Dan, ada satu fakta yang kurang diperhatikan, kota itu dibentuk dalam suatu kondisi unik. Kepemilikan bersama Inggris dan China. Benar, bahwa banyak konflik dan perang fisik dalam pengembalian secara utuh ke negeri China Yang menjadi poin penting adalah bagaimana kota itu tumbuh dengan iklim perdagangan terbuka ala "barat, tetapi harus berada dalam kontrol ketat ala sosialis China. Hasilnya, Hongkong menjadi suatu kota yang modern, mampu menarik investasi, dan tetap mempertahankan kesejahteraan rakyat China.
Di sinilah ide Romer bermula. Jika negara maju mau menciptakan suatu bentuk pemerintahan kota bersama yang memberdayakan penduduk negara berkembang, maka penduduk di negara berkembang mempunyai banyak pilihan. Indonesia misalnya, bisa bekerja sama dengan Australia dan menetapkan suatu kawasan kosong, mungkin di Australia ataupun di Indonesia dan menciptakan suatu kota berdasarkan charter. Di kota ini penduduk Indonesia tetap berada dalam payung hukum Indonesia. Hal ini termasuk mekanisme paja, yaitu penerimaan pajak penduduk dengan kewarganegaraan Indonesia tetap masuk ke APBN. Australia mendapat kesempatan meluaskan pasar industri mereka yang hampir mentok akhir-akhir ini. Dengan iklim investasi mudah maka pihak asing lain dapat dengan mudah menanamkan saham. Dan terpenting terjadi spill over teknologi dan modal, mengingat modal dan teknologi masih menjadi missing factors dalam proses industrialisasi Indonesia (tipikal negara berkembang).
Konsep ini masih mentah dan sedikit radikal. Menmbayangkan proses kerjasama bilateral hingga pemerintahan kota bersama terlihat tidak feasible tetapi bukan tidak mungkin dilakukan.
Just an idea,
Tuesday, October 13, 2009
Tuesday, October 6, 2009
HDI Repor t Update:
Newest release from UNDP, Human Development Index. World still polarized between Scandinavian and African.
Read More ..Sunday, October 4, 2009
Do We Need Axioms?
The title above is quite clear enough to understand. For many student on economics, especially who are taking advance micro economics shall frustating why they need so many axiom just to explain a demand (or supply) curve? It is true, necessary?
I got a good explaination from Prof. Iwan Jaya Azis, Cornell Unversity, when he though about General Equilibrium, as written on his article 'Antara Teori dan Intuisi' (between theory and intuition). One day a student of his class questioning why he must learn Debreu axioms. Let me sum up their conversation:
Student (S) : I think a simple economic model is quiet enough to explain our daily economic phenomena.
Iwan J. Azis (A): What do you mean about "daily economic phenomena"?
(S) : Suppose that US government canceled such a tariff import policy on clothing from Asia. It easily predicted that cloth price will fall, since increasing on supply (caused by import flow). I just use demand-supply model without confusing on axioms, right?
(A) : How?
(S) : It simply because demand curve has negative slope.
(A) : Who said that? Since you accept a postulate that demand curve has negative slope and supply has positive slope, you are using some assumption. For example, cloth is a commodity that its substitution effect is less than income effect, so consumen behaviour is normal. It implies you assumed that cloth definetly not a giffen goods?
(S) : Yes, I am
(A) :So, what kind of assumption we need to draw an indifference curve for this case?
(S) : Curve must be convex, continous, and has monotonicity
(A) : You just already said Debreu axioms.
Tuesday, September 15, 2009
Boediono: Infrastructure!
Last Monday, Prof. Boediono the elected vice-president, came to the town. Giving some general descriptive about our macroeconomics condition, that overall could been read on his new book. For me, most important point of his speech is about government critical issues for next 5 years. Boediono put stress on infrastructure. They are, physical infrastructure, soft infrastructure, social infrastructure, and creativeness. I fully agree, since remembering previous post
Read More ..Friday, September 11, 2009
Bail Out?
I just questioning, why people think that Rp. 6,7 T for Bank Century is a bail out? "Bailout" terms will confusing us and misleading about, where did the money came from?
It is important to understand that Rp. 6,7 T is come from LPS (Lembaga Penjaminan Simpanan). It mean there are no one rupiah is allocated from APBN. LPS funds was came from BPPN liquidation on 1998 (BPPN is a temporal institution which created facing '98 crisis) and collected premium from all Indonesian bank. So, protest again LPS injection, because it use "society money" (uang rakyat), is no more relevant.
But, I agree that we must questioning the transparency and calculation of injection amount.
Wednesday, September 2, 2009
Indonesia Dijual?
Benarkah Indonesia sedang dilelang lewat situs http://www.privateislandsonline.com? Setelah Sipadan dan Ligitan Indonesia siap melepas beberapa pulau lagi dengan hanya $1,000,000 - $ 8,000,000. Gila, tentu jika bagian sebuah negara bisa dijual dengan harga sejumlah tersebut.
Maka gila pula orang yang mentah-mentah menerima logika media massa, yang sedang asyik menggembar-gemborkan penjualan beberapa resort pulau di Mentawai. Sebelum melacak siapa saja pembeli pulau tersebut, lebih baik menangkapi orang asing yang memiliki rumah di pinggir jalan dekat Anda atau mungin Anda sendiri yang baru saja membeli rumah atau tanah.
Apakah dengan membeli pulau tersebut, si pembeli lantas boleh bertindak di luar hukum Indonesia dengan, yah, membunuh orang sekenanya disana dan tidak bisa ditangkap? Disini lah perlu disadari tidak semudah itu "menjual" negara. Memang perlu dikaji lebih lanjut jenis hak apa yang diperoleh dari penjualan tersebut (tentu teman-teman fakultas hukum lebih tahu). Jika yang dibeli hanya hak sewa atau hak mendirikan usaha bahkan penjualan itu justru positif bagi perekonomian Indonesia (toh selama ini pulau-pulau itu dianggurkan). Benar perlu aturan tegas untuk mengawasi kepemilikan tanah oleh asing. Pemerintah bisa saja menetapkan batas luas. Jika tidak bisa, cukup memberi hak sewa, mendirikan bangunan, atau izin usaha dengan menindihnya dengan kebijakan fiskal yang menguntungkan bangsa ini. Rasanya terlalu buru-buru menuduh.
Jadi tidak ada itu namanya "Indonesia sedang dijual?". Sayang, jawabannya ada. Indonesia adalah rechstaat, negara hukum. Ketika hukum dibeli disitulah negeri kita dijual. Justru di Pengadilan-Pengadilan Negeri, di kantor-kantor polisi atau mungkin Gedung DPR/MPR bangsa ini sedang diobral.
Monday, August 31, 2009
Quotes For This Semester
...but I won't, as there is more to life than test scores. I am looking also for passion about the subject, interesting life experiences, and a balance among the group of students to promote good discussion...Pure inspiration for students who looking for an alibi [read: why they have middle-low or lower GPA] -> including me..laugh..I agree that a group student like me (middle-lower grade) will make class discussion more "lively"
Thanks Professor Mankiw, moreover for your books suggestions.
Read More ..
Friday, August 28, 2009
Blog Update: "Read More" Things
I've made some improvement on our beloved blog. To simplifyi main page, Kigendeng posting will not fully displayed. So, kigendeng add "read more" link. To open whole posting just click the "Read More" link...Hopefully you'll enjoyed. But, sorry for everyone, who feel inconvenience. Thanks
Read More ..Atheist Must Concern...
This picture below is taken from fourblockworld.com. I found this link from Jahen's blog.
I think believe in God still our optimum strategy.
"Simalakama" Taste Sweet
Indonesian people shocked. Sugar price nowadays reach Rp. 10.500. Even in Ramadhan season, this price booming seems unexplainable. But, it still interesting that how people blame world market for sugar booming
There was a dilemma. Like other food commodity, sugar farmer feel normal sugar price are too low. On January 2009 (Kompas, 27 August 2009) price of rafinated sugar only $310 per tons. Fantastically, in 24 August price bounce up to $615 per tons. World price fluctuation is pointed out as main factor, which lead domestic price going higher. Sugar farmer looked happy, not so consumer (also me). Just like eating simalakama fruit, our ancestor said.
So, it's fair to blame the world market? It is true that our circumstance will get better if we going to autarky? I don't think so. Sucofindo co. assumed that our domestic production was only 2,74 million ton per year. Our Industrial (middle-higher scale) consumption is about 1.054.121 ton per year. At household level, we consume 11,86 kg per capita (since we have 200 million people, it means we consume 2.372.000 ton per year). From those sector, exclude household industry and small-scale industry, we need 3.426.121 ton per year. The only way is doing import.
Increasing import tariff idea and stop sugar import truly unrealistic. For short-run solution we need import. Further, we must consider on how we strengthen our supply side (more productivity) than consider on banning sugar import or close our sugar trade.
Yes, it's like eating simalakama fruit, but this one taste sweet
Thursday, August 27, 2009
Gorontalo, The Black Swan of Indonesia
We, Indonesian, or may be people in whole world commonly accept that there are such a gender discrimination in daily life. I'm not going to ignore that, especially from my Indonesia point of view about education.We know about great struggle of Kartini at the past against Javanese culture named "pingitan". (Women are believed to stay at home and didn't need to got education experience.)
In modern days, may be "pingitan" was no more than folklore. But, data told the truth. Selected Social-Economics Indicators of Indonesia 2008 reported that there are some gap on gender term in Indonesian education. Adult literacy rate in Indonesia for Male reach 94,56% , for female just 88,39%. . Further, Mean years of schooling told similar sense. Indonesian male spend 7,9 years for schooling but female group only spend 7 year (approximately just finished elementary school.
Nassim Nicholas Taleb proposed The Black Swan Theory. There are some rare event beyond our normal expectations. We need not traveling to Western Australia in purpose to see the black swan (on denotative meaning). Let's us flight to Gorontalo (another new province after decentralization in Indonesia). On paragraph above, we saw such a disrimination by gender on Indonesian education. Women got less. But not at Gorontalo. Gorontalo's female have spend 7 years for shooling but their male spend 6,5 years. Same story on adult literacy rate, approx. 95,93% women an read, when only 95,47% of male.
I still couldn't explain why. Even a matrilinealistic culture like Minangkabau have, the data follow same pattern like normal gender disrcimination (adult literacy rate and mean years for schooling for women is less than male group). The Black Swan theory seems true. But, I also interested of one exciting fact. In Indonesia 79,6% of women have used contraceptive but 84,98% Gorontalo's women have it. It looks like there are some correlation between eduation and demographic problem, especially facing population booming.
Tuesday, August 25, 2009
BOP-B: Just an Ideas (part 2)
(melanjutkan posting sebelumnya)...Apa arti 3 langkah perubahan yang kita lakukan?
Melalui lembaga yayasan beasiswa yang dikelola Universitas (sebut saja suatu saat UI punya yayasan "Makara Foundation") dan kerjasama badan khusus pengkoordinir dana beasiswa departemen pemerintah, informasi akan tersalurkan seara lebih fokus. Peserta didik yang ingin masuk di PTN tertentu langusng berhubungan dengna pihak bersangkutan. Tidak menutup kemungkinan juga mencari sendiri lembaga swasta.(ingat problem 1).
Berikutnya revolusi kebijakan fiskal terfokus untuk memperbanyak jumlah penyedia scholarship. Sasarannya jelas perusahaan-perusahaan besar. Apalagi melihat kenyataan banyak perusahaan besar yang menunggak pajak. Lebih baik memberikan mereka keringangan lewat kompensasi pendidikan.(ingat problem 2). Setidaknya ada 3 makna penting dari pola ini.
Pertama, perubahan paradigma dari meminta keringanan menjadi usaha mencari tambahan dana, hal ini juga mempersiapkan mahasiswa Indonesia bersekolah ke luar negeri. Kedua, ada perubahan moral hazard, keringanan BOP-B memang menyediakan biaya yang ringan tapi (tanpa mengurangi respek terhadap mahasiswa penerima BOP-B) hal ini tidak berpengaruh banyak pada motivasi mereka. Lewat beasiswa, mahasiswa kurang mampu justru terpau untuk belajar lebih giat yang menjadi human capital tersendiri bagi mereka di masa depan.
Ketiga, sistem ini membantu kemudahan transparansi keuangan universitas. Dana operasioanal dihitung seara tepat (sesuai proporsi yang boleh ditanggung peserta didik), lalu di bagi sejumlah kapasitas mahasiswa. Sehingga merek bisa memprediksi dengan baik kekurangan dana dan bisa fokus mengalokasikan dana untuk researh. Sistem ini juga meningkatkan tingkat fairness penerimaan mahasiswa. Tidak ada alasan mahasiswa diterima karena ia lebih "berduit" (lewat jalur tambahan diluar jalur resmi) daripada calon lain yang punya kompetensi lebih namun kemampuan finansial lemah, sebab dana operasional sudah diperhitungkan sebelumnya.
Skema ini masih "jauh api dari panggang", tetapi bukan tidak mungkin. Semoga pendidikan Indonesia menjadi lebih baik.
Monday, August 24, 2009
BOP-B: Just an Ideas (part 1)
Keywords: fixed tuition fee, beasiswa, swasta, PTN, dan kebijakan fiskal,
Apa yang coba diangkat sebenarnya merupakan sebuah skema pembiayaan. Pola yang selama ini didominasi oleh pemerintah sedikit berubah dengan memasukkan unsur swasta. Ide ini di mulai, setelah melihat betapa sistem BOP-B yang berbasis price discrimination sering meninggalkan masalah. Assymetric information, distorsi perilaku, dan "kebocoran" (karena tidak mampu menangkap willingness to pay tiap individu). Sebuah inefisiensi atau dalam bahasa non-ekonominya terjadi ketidakadilan.Berangkat dari kondisi tersebut kigendeng justru cenderung menawarkan penghapusan BOP-B. Alternatifnya justru sebuah sistem fixed tuition fee artinya seluruh biaya ditanggungkan ke peserta didik dengan besar biaya yang sama. Menutup kesempatan orang miskin? Di sinilah peran swasta dan pemerintah bertemu. "Keadilan" yang dituju dicapai lewat sebuah program beasiswa. Peserta didik yang merasa tidak mampu harus mencari beasiswa untuk membayar uang kuliah. Sedikit kejam? Poin utamanya adalah mengalihkan bentuk keringanan pendidikan menjadi beasiswa. Sebuah perubahan paradigma dari mengharap keringanan menjadi mencari tambahan pembiayaan.
Sumber beasiswa diharapkan berasal dari 3 scholarship agent. Pihak swasta (perusahaan), pemerintah, dan universitas. Lubang besar dari ide ini ada 2, yaitu sulitnya akses informasi beasiswa (problem 1) dan jumlah pendonor (problem 2) termasuk besar dana yang tersedia untuk beasiswa. Satu-persatu akan kita bahas.
Dua problem itu dapat dipecahkan jika ketiga scholarship agent berfungsi dengan optimal. Caranya, paling tidak ada 3 hal yang harus dilakukan:
1. Yayasan Beasiswa PTN.Pihak Universitas seharusnya memiiki satu yayasan tersendiri yang khusus menyediakan beasiswa bagi peserta didik.
2. Beasiswa Departemen.Tiap departemen kementerian harus memiliki alokasi dana beasiswa untuk tingkat perguruan tinggi. Selanjutnya dikoordinir oleh pemerintah dibawah Depdiknas agar dikelola database-nya sehingga bisa disosialisasikan kepada PTN
3. "Menjamurkan Beasiswa".Pemerintah membuat sebuah revolusi kebijakan fiskal dengan memberi keringanan pajak pada perusahaan yang mempunyai CSR berupa yayasan beasiswa atau pendidikan (sebab pada umumya scholarship foundation lebih sering menjadi tax avoidance alih-alih tanggung jawab sosial)
Gold Standard for Todays?
Here's a cons opinion from Director of LPEM (Institute for Economics and Social Research), Dr. Arianto A. Patunru on his blog
Read More ..Sunday, August 23, 2009
Misleading Again
I reccomended you to see this article.
M. Bambang Pranowo, Professor of Religion-Sosiolog UIN Jakarta, wrote an artice "Virus Kapitalisme dalam Keberagaman". I quoted these interesting opinion:
"...Melihat kenaikan harga sandan-pangan menjelang dan di bulan puasa, bisa kita duga, puasa justru membuat orang makin konsumtif. Kenaikan harga pasar itu niscaya mengikuti hukum permintaan dan penawaran. Makin besar permintaannya, makin tinggi harganya. Ini indikasi, di bulan puasa, umat Islam makin konsumtif..."Interesting, eh? He was so brave using supply-demand approach to took a conclusion that today's moslem are more consumptive (regarding many definition of "consumptive" terms). Is it true Moslem nowadays more consumptive just because price level is higher on Ramadhan? I doubt it. Economics told different. More possible way to explain why price level increase on Ramadhan is simply because reaction of supply side on anticipate decreasing expected demand. Suppy curve shifted to left because they know they will face decreasing demand on future. So it possible to see price level go higher than normal.
I didn't come to say that my opinion is best explanation for this short-term inflation. Just want to sa that supply and demand works more complicated than Prof. Bambang state. Last, stop blame on capialism as a cause of people preferences and why people keep Heroin on Al-Quran. Read More ..
Friday, August 21, 2009
BOP-B: A Lemon Problems for Middle Class
Baru saja Prof. Der.Soz. Gumilar Soemantri dalam Kompas hari ini membuat klarifikasi bahwa BEM- UI tidak dibekukan. Tentu kita bingung kenapa muncul isu dibekukan? Kisruh ini dimulai dari ketegangan antara mahasiswa dan pihak rektorat yang masih belum jauh-jauh menyoal BOP (Biaya Operasional Pendidikan) Berkeadilan atau BOP-B
Tidak perlu sampai membolak-balik theory of justice-nya John Rawls, untuk melihat sisi adil mana yang sedang dipermasalahkan. Seharusnya BOP-B adalah price discrimination admission fee yang harus ditanggung sebagai bentuk "adil" bagi kesempatan belajar. Terdengar indah, tetapi kenyataannya pihak mahasiswa mampu menunjukkan "ketidakadilan" dari data-data primer dan sekunder (yang menurut mereka bisa dipercaya). Benarkah orang miskin tidak mendapat keringanan? Ada kebocoran? atau yang paling sulit, bagaimana menentukan"keadilan"?
Sedikit menengahi badai kisruh yang menyebalkan ini, kita coba pahami posisi kedua belah pihak. Saya yakin rektorat tidak akan men-charge mahasiswa yang benar-benar miskin, taruhlah orang tuanya berada di bawah 1$ per hari dalam konsumsinya, dengan angka keterlaluan Rp.5.000.000 misalnya. Banyak bukti menunjukkan mereka mendapat kan BOP terendah yaitu Rp 100.000 per semester sebagai BOP. Masalahnya sekarang ada di middle class ke atas. Anggapah termasuk lower middle class .
Masalah apa? George Akerlof menyebutnya Lemon Problems. Banyak dimensi definisi untuk membahas teori ini. Namun, ide fundamentalnya terdapat pada assymetric information. Hamir mirip dengan kasus asuransi, terdapat fenomena inside information. Hanya sang mahasiswa yang tau kondisi sebenarnya keuangan keluarga mereka. Pihak rektorat tidak tahu jelas. Di sinilah keraguan dan ketidakpercayaan terjadi. Dalam middle class, spread dan distorsi pendapatan dan pengeluaran sangat jelas. Pihak rektorat sebagai pemberi keringanan dengan informasi terbatas dan desakan kebutuhan dan cenderung memasang admission fee yang tinggi akibat ketidaksempurnaan informasi tadi. Hasilnya? "ketidakadilan" pada beberapa anggota golongan middle class terutama dalam zona margin atau abu-abu.
Bukan bermaksud melepas curiga adanya intransparansi rektorat dan birokrasi cacat yang masih mungkin terjadi dalam menciptakan failure. Namun, sekedar menunjukkan sistem BOP-B punya beberapa kebocoran layaknya sistem price discrimination lain dalam ekonomi. Dalam postingan selanjutnya, kigendeng akan coba memberi alternatif kebijakan yang dapat dipertimbangkan. See you on next posting.
Monday, August 10, 2009
Watchout Another Attack! Baby Boom
A dramatic movies-like actions on Temanggung (starring: Densus 88), has ended. But it still left a question, who's really Mr-X in the house? Is it Noordin M. Top or else? But, some terrorism experts remind us too keep awake and believe that terror bomb didn't ended yet.
I agree...but not in this particular case.
I agree that "terror bomb" not ended yet. It is real. The Baby Boom. Based on demographic survey on 2007, member of KB (Keluarga Berencana) just slightly increase from 60,3 % to 61,4 and a stagnan Total Fertility Rate (TFR) stuck on level 2,6 (per fertile age woman). We need approx 70% KB's member (Sugiri Syarief, 2008) and must allocate Rp 4 trillion (FYI on 2008 we just have Rp 2,1 trillion)
For real, according to Aburidzal Bakrie, today's Indonesia people have reach 215 million people. People growth, was fantastic, more than 4 million (people) a year! Fear of baby boom part 2 (first baby boom appeared on 60's era) seems realistic. For economic growth I could say it is a bad news. On APBN 2010, I can't see this demographic problem as a priority. But, the data give us early alarm for our government. Especially on 2010, it will be wise to pay attention not only on Densus result but also Census result.
Sunday, August 9, 2009
Football and Fiscal (part 2)
Goal.com try to list several reason, why players prefer to play in Spain not England. The third reason remind us on our previous post and this one
"...Sejak 2004 pemerintah Spanyol menerapkan skema pajak bagi pemain luar Spanyol yang diistilahkan ‘Law of Beckham’... Dalam aturan itu, pemain cukup membayar pajak sebesar 24 persen selama enam tahun pertama di Spanyol.Gordon Brown must do something. Read More ..
...Bila masih bermain di MU, gaji yang diterima Ronaldo sebesar €409.000 setelah dipotong pajak. Sebaliknya, di Madrid, gaji bersih yang diterima Ronaldo sebesar €562.500 atau lebih besar 37 persen.
Contoh lain, Klaas Jan Huntelaar yang menerima gaji bersih ₤55.000 per pekan di Madrid. Tottenham Hotspur yang berambisi memboyongnya ke White Hart Lane harus menaikkan gaji Huntelaar menjadi ₤90.000 per pekan karena striker Belanda ini menolak gaji bersih yang diterimanya lebih rendah di klub barunya..." see complete article
Tuesday, August 4, 2009
Fasten Your Seatbelt? And You Go Drown With The Plane
I'm not telling about Merpati Airplane accident in Papua. I talk about an interesting article from Didik J. Rachbini (Kompas, 4 August'09) about persuation to tighten our belt on 2010. He questioning that our APBN target seems too optimistic. Thus, he asked to prepare our self to be thrifty.
I hope Didik didn't mean to ask people keep their money on the pocket and less consume. It was a suicide, even in economic crises. Here's the logic. You keep your money, producer get loss, then who paid the wages? The most dangerous arise if producer decide to lowering their output level. It means input "efficiency" or some "rationing". Okay, it simply to understand by looking our famous equation Y= C+ I + G +NX, consumption (C) muss keep going on positive trends. That what such a stimulus for, isn't it?
So, it fair to ask people keep spending their money, wisely. Money are cheap now. We look interest rate as money price. Nowadays. BI as central bank looking continue their BI'rate cut off. (6,75% on July , since Early year Bi cut off interest rate for 225 bps, and Darmin Nasution as Senior Deputy of BI promise to continue this trend. We need consumer confidence (to consume or to invest) than they save their penny.
Update: Just announced this morning (5 August'09), BI rate fell to 6,50%)
Media Kill Mbah Surip
In Memoriam: Mbah Surip. It's not the caffeine, cigarettes, even heart attack, but the interviews, show schedules , advertising. Our demand, right? He just too tired. Good bye Mbah thank you for left us your laugh. For me it useful in facing this sick life.
Read More ..Monday, August 3, 2009
Looking for Best Way To Welfare? Build the Road First, Sir
The world is flat, according to Thomas Friedman (The World is Flat, 2005). China and India was able to use this flatness to boost their economic growth. What makes them different? It is more than such a "miracle". Friedman point out both countries commitment on technology and importance of infrastructure. They provide better access by build electric installation and better road. Park Chung-Hee when he lead South Korea to industrialized countries was do the same thing. On his famous program "Saemuel Undong" (a New Village Movement), he began it with infrastructure. Including build road, which is interconnecting villages.
How about Indonesia? Today's Kompas headline (3 August 2009) figure out how poor our infrastructure. We have 36,000 km national road. (Most of them lay on Sumatera an Java), but it also easy to hear many complaint about the road condition. The same old stories. Bad drainase, overloading truck can pass the officer, and some indication of questionable material. Now 3000 km road was expired (average age of Indonesian road is 10 years). Estimation told us that we need Rp 36 trillion (doubles Ditjen Bina Marga budget). A challenge for SBY to find long term solution for this classic problem. This is important to reduce transportation cost for many economic sector. Easy access would make economics actor allocate their resources more efficient.
But, even Sumatra and Java must count their self lucky. Papua has worse condition. How we can promise, welfare is on the way to Papua, even they didn't have enough road? May be SBY shoukd consider to double allocation of government expenditure budget to Departemen Pekerjaan Umum.
Infrastructure really need stimulus. On my opinion, infrastructure need bigger stimulus than fuel (BBM).
Sunday, August 2, 2009
Juventus Efficiency
Good smelled Mediteranian air on Andalucia, Juventus meet Madrid once again on Peace Cup. Poorly Madrid, they lost again, 2-1 now. As I remember, in the last meeting on Champion League (6 november 2008) Juventus beat Real Madrid 2 -0. So, Juventus won again. Whereas, on this summer break Real Madrid looking to strengthen their squad. They bought Kaka, C. Ronaldo (€ 80 million), Benzema (€ 35 million), and buy back Granero (€ 4 million). Juventus took some action too, they bought Diego (€24,5 million) and Felipe Mello (€ 20,5 million) and Cannavaro for free.
Let sum up this match, now Real have additional € 119 million (from only C. Ronaldo, Benzema and Granero because Kaka didn't play because of injury ). Juventus came without Diego (€24,5 million from Werder Bremen) so they add €20,5 million (for Felipe Melo + Free Cannavaro). Madrid still lose (but get some improvement. Losing 2-1 is better than 2-0 isn't it?) What this imply?
Yeah Juventus simply allocate their resources better than Real Madrid. I'm afraid that Madrid face Decreasing return to scale, it means, they better stop adding new "overvalued input" and try found alternate way. Forza Juve
Notes: But It depends on how Madrid define their "output". If Madrid was seeking for jersey sales boosting (not ever trophy), I think they made it. They are more efficient in this way.
Friday, July 31, 2009
China and America, Yuan and Dollar: The Saga Keep Continues
Few weeks ago, Timothy Geithner has come to visit China for, ehmm, I called it a concert, Hu Jintao listening, sounds like an old song. Sounds like Beatles:
"...
Uncle Sam comes to China
Speaking words of wisdom , let it float.
Let it float, let it float.
This will be an answer, Let it float
Let it float, let it float,
Whisper words of wisdom , let it float."
Adapted from Let It Be (The Beatles), click here for the original lyrics
Wednesday, July 29, 2009
S&D: Now, I feel stupid
Okay, we're all (economics student) must know about Econ 101, Principle of Economics. I assure we met supply and demand (S&D) for the first time on this class. I got A, as I remember, but facing these two questions I feel like an idiot:
Question 1: What would happen to demand for the tea, if there was a health scare regarding coffee?
and more though one,
Question 2: A survey shows that on average 100 people go to the movies when the price is $6 and 300 people go when the price is $9. Does this violate the laws of supply and demand?
Thank you Prof. Scott you awaking me from "A" mark illusion. Now, i realize how useful "other things hold equals". Yeah, S&D are complicated. Maybe I must consider to took Econ 101 again. Sigh
But, i hope you (reader) have a better answer than me.
Tuesday, July 28, 2009
Are Our Humanities Diminishing Too?
The most fundamental concept of neo-classical era is marginality. Marginal concept lead us to understand what know we called it the law of diminishing marginal return. It happen on many occasion. The most simple example is on utility function. Our marginal utility are diminished along addition of utility value (classical evidence are the utility of a glass of water).
Few weeks ago, I just finished reading The Lamb and The Fuhrer (Ravi Zacharias). A quotation on this book obsessing my mind.
"The death of one person will lead us on deep sadness, but death of one hundred persons was no more than statistics" (Unknown, Germany)Seems harsh, but poorly sometimes I feel that statement may be a truth. How about you? Read More ..
Monday, July 27, 2009
Summer Reading Club
I recommend a list of books for this holiday:
-Undercover Economist. Tim Harford
-Freakonomics. Steven Levitt
-Why England Lose. Simon Kuper and Stefan Szymanski
-Mendobrak Sentralisme Ekonomi. Rizal Mallarangeng
-Pelaku Berkisah. Thee Kian Wie
-Asas Moral Politik. Ian Saphiro
and for more religious session:
-The Lamb and the Fuhrer. Ravi Zacharias
Most of them can be found on Amazon.com and Gramedia.com, but nevermind, just simply use the almighty Google.
Feel cheapo? Try Gigapedia . But, I won't recommended it.
Why Ibra Move? A Rationale of Footballer
This summer transfer was shocked. Surprisingly, Samuel Eto'o (plus 48 million euro) has been part of exchange to release Ibrahimovic from Inter. It was a huge number. But, I more interested on more personal effect.
Did you now that Samuel Eto'o will get paid around 10-11 million euro per year, but Zlatan poorly can't get more than he get in Inter (9 million euro)?. Are Zlatan irrational?, Are he solely pay attention on Barca's prestige and achievement, thus sacrifice his wage? (FYI: Zlatan before this transfer was considering to move because his negotiation about renewing contract value, including wages, was in deadlock)
An article from BOLA have a good answer.
"..Notes that the Swedish striker got higher take home pay, than the Cameroonian striker...Why? Income tax cut rate on La Liga is only 23% but in Serie-A it is about 43%. So, Eto'o will get 6.27 million euro in real and Zlatan can take 6,93 million euro after tax adjusment."For this terms, I can say that Ibra point out rationale choice. He looked indifferent on nominal wages, but not after tax treatment. Maybe, that would be the same reason for Kaka and C.Ronaldo. Who knows? But, it was interesting if you remember my previous post. Read More ..
Sunday, July 26, 2009
Cheapest Transportation
Baru saja kigendeng menempuh jarak 445 km menggunakan kereta api Gumarang* (kelas bisnis) menuju rumahnya yang sudah 6 bulan ditinggalkan. Dengan ongkos Rp 70,000, duduklah kigendeng diantara ratusan orang lain yang duduk di kursi masing-masing. Masing-masing? Tidak. Terlihat pemandangan beberapa orang duduk di lantai beralaskan koran. Apakah mereka tidak kebagian kursi? Kenapa bisa? Pertanyaan itu terjawab 30 menit setelah kereta berjalan.
Kondektur datang mengecek tiket penumpang. Saat melewati salah satu orang (sebut oknum A) yang tidur di jalan , sang penumpang memberikan uang RP 15.000 langsung ke kantong pak kondektur, sambil berkata " Telu (bahasa indonesia: tiga) ya mas". Dan kondektur berlalu.
Wow, Rp 15.000 untuk 3 orang. Seorang hanya membayar Rp 5.000! Mengapa kondektur itu mau? Kenapa saya harus bayar tambahan Rp 65.000 untuk sebuah bangku?
Dalam tiap gerbong ada sekitar 10 orang yang berperilaku seperti oknum A. Kereta Gumarang terdiri dari 7 gerbong kelas bisnis dan 2 gerbong eksekutif. Fenomena itu (sepanjang pengamatan kigendeng) hanya terjadi di kelas bisnis. Maka ada sekitar 70 orang oknum A. artinya Sang kondektur mengantongi 70*Rp.5000 = Rp.350.000 dalam satu perjalanan. Gumarang memang beroperasi tiap hari (tapi pasti sang kondektur tidak tiap hari). Bayangkan jika sang kondektur bekerja tiap hari maka ia mendapat tambahan sebulan sebesar Rp.350.000*30 = Rp 10.500.00 (tentu asumsi kondektur tidak diganti).
Sang oknum A dan kondektur better off , artinya tidak terjadi market efficiency di sini. Memang, masalah ini lebih ke arah masalah lemahnya aturan tapi perlu dicatat hal sebagai evaluasi tingkat upah pegawai kereta api. Saya pun merasa rugi dalam arti harus mengeluarkan biaya yang besar padhal fasilitas tidak jauh berbeda. Perlu paduan insentif dan disinsentif bagi pihak konsumen dan petugas yang berpeluang memanfaatkan lemahnya sistem kontrol di dunia kereta api Indonesia.
*KA Gumarang adalah kereta dengan trayek Jakarta-Surabaya
Tuesday, July 21, 2009
Menu Cost? Use Blackboard
In the short-run (spesifically on classical perspective), we know that firms face sticky price. Simply, product price fluctuation must be less than inflation (which is change everyday). Why? We learn one of the factor is menu cost. Firms can't instantly change the price because they must add additional cost to print out new menu list, updating menus, price lists, brochures, and other materials when prices change in an economy (this example precisely happen on resaturant). It's relevant? My answer, bigger the size, of a firms this assumption more close to reality. But, in small firms situation, blackboard ought to be an answer.
All you need no more than a set of chalk and an eraser.
Wednesday, July 15, 2009
Menjawab Peran Pemerintah
Apakah pemerintah perlu campur tangan?
Tentu kita sudah mengenal berbagai tanggapan atas pertanyaan ini lewat ekonom-ekonom besar macam Adam Smith, David Ricardo, Keynes hingga Milton Friedman. Namun, kali ini tidak ada salahnya memberikan kesempatan bagi ruang intelektual kita, menyimak tanggapan Abraham Lincoln (mantan presiden Amerikat Serikat), seperti yang dikutipkan di salah satu pidatonya pada 1 Juli 1854:
Sasaran sah pemerintahan adalah "melakukan untuk rakyat apa yang perlu dilakukan, tetapi mereka sendiri dengan upaya perorangan, tidak bisa melakukannya sama sekali atau melakukan dengan cukup baik untuk mereka sendiri" ... Dari sini tampak bahwa kalau semua orang itu adil, pemerintah masih diperlukan sedikit, meskipun tidak begitu banyak.Sebuah jawaban filosofis yang kental semangat liberalisme dari seorang abolisionis yang cinta damai. Tidak lebih buruk dari komentar ekonom-ekonom di atas. Read More ..
Sunday, July 12, 2009
After The Election
Yes, it was incumbent winning, but it still interesting to predict who will take charge on cabinet specially on economic area. Given inflation rate yoy (June 2009) 3,65% , appreciation on exchange rate, that seems to keep going on, and positive signal from financial market (reflected on IHSG), we just can hope this must be our chance to bounce back our economy. Simply by got right man (or woman) at the right place. Read More ..
Wednesday, July 8, 2009
When economist listen to MP3
One ordinary day, kigendengwaras (yes, it's me), the drunken economist, listen a list of songs. While he enjoy the music, his economist instinc just come to realize that how these songs are told so much about economics. On half insanity, let us enter our (beloved) young economist thought:
Rolling Stones: "You can't always get what you want" -- Okay that's why we called it trade-off
Bon Jovi: "Bad Medicine" -- We talk about quota, subsidies, tariff, and dumping isn't it
The Clash: "Career opportunities" -- Definetly, we talk about opportunity cost
U2 : "Stuck in a moment You can't get out of" -- remember on Great Depression on '30s, you need "intervention"
Michael Bubble: "Everything" -- Ouhh, that the answer for What economics can explain about?
for last,
Cindy Cenora: "Aku Cinta Rupiah" -- Beware! Neo-Protectionism..maybe this song inspire China on Yuan policy..
That's why I love music an economics. Sadly, I learn that I also face indifference curve, it means I couldn't listen to the musics along day, I must sacrifice my time to listen my teacher..
nb: I indebted to Prof Daniel S. Hamermesh for his inspiration that Economics is Everywhere
Consider this before you go abroad for holiday
Update: my friend Rangga Cipta remind me that the list could be a good evidence for Japan's dumping policy.
Update.2: an article taken from Kompas
Saturday, June 27, 2009
Principle of economics: Incentive !
just click on the picture to enlarge it
This photo is taken from http://blogs.ft.com/undercover/
Jika tidak salah sering dikatakan konsumsi junk food akan menurunkan kualitas seseorang karena dianggap tidak bergizi. Tapi dengan poster diatas jangan-jangan konsumsi junk food meningkat seiring peningkatan nilai akademis secara keseluruhan di sekolah-sekolah. :-)
Atau coba ada tempat rental Play Station (PS) yang membuat diskon bagi anak-anak yang punya nilai rapor bagus. Menguntungkan buat perental PS yang selam ini debenci orang tua, dan Orang Tua mulai bisa memahami keberadaan rental PS. "just fun insight"
Yes, our textbook say: People Respond to Incentives, behavior changes when costs or benefits change
Friday, June 19, 2009
Transfer Saga: Media Blow or Real ?
when the Undercover Economist (Tim Harford) talk about mega-transfer:
Which was football’s biggest transfer fee?
Another learning from introductory economics: between nominal and real value
Debt: Opportunity or Trap? Or Who Must take The Blame?
Baru saja mengikuti diskusi menarik (KANTIN IE), menyoal utang negara "apakah menguntungkan atau merugikan". Tiba-tiba saja moderator menunjuk ke arah seorang pemuda canggung yang baru datang. Mukanya jelas tampak tidak siap, sementara sebelumnya perdebatan melibatkan data, statistik, rasio, dan istilah-istilah macam "LOI", "agenda asing", IMF, "kepentingan Barat", tinggallah pemuda itu kebingungan. Alih-alih berpendapat ia malah bercerita:
" Ada seorang tukang nasgor (nasi goreng) miskin yang selama ini berjualan di pinggir jalan dengan modal seadanya. Gubuk sederhana, sebuah kompor minyak tua, dan topi penahan terik matahari. Suatu saat sahabat kita ingin menambah modal (baca: utang) pada temannya yang cukup kaya. Temannya bersedia, jumlah 3 juta bukan masalah besar . Namun, sang sahabat tukang nasgor ini mengajukan syarat bahwa ia harus mengganti kompor minyak tua dengan kompor gas ber-LPG.
Menurut sahabat kaya kita ini LPG membuat masakan cepat matang dan intinya lebih efisien, ia menjelaskan bahwa di rumahnya dengan kompor gas, masakan sejenis tersaji lebih cepat dan lebih baik , eh maaf, lebih banyak. Teman kita tukang nasgor ini menyanggupi dan tampak puas. Singkatnya uang dipinjam dan segera ia mengganti kompor tuanya dengan kompor gas. Tak lama berselang tersiar kabar tukang nasgor itu terkena musibah, kompor gasnya meledak. Rupanya ia tidak terlalu paham penggunaan dan perawatan gas LPG. Dengan latar gubuk yang tinggal sisa-sisa, tukang nasgor merenung..."
Siapakah yang harus disalahkan?
Menurut Anda? Read More ..
Thursday, June 11, 2009
Lebih Tinggi = Lebih Bahagia = Lebih Sejahtera
Pusing memilih Capres? Kalau begitu Anda sama dengan saya. Sulit menentukan mana program ekonomi yang paling baik. Ada yang mengukur kesukesan lewat dua digit economic growth, ada yang kukuh menjadikan "kemandirian" bangsa sebagai tujuan utama. Dan tak ketinggalan capres yang sibuk mencari "jalan-tengah".
Tentu kita kesampingkan sentimen ras dalam penelitian ini. Maka, jika penelitian ini benar, seharusnya ada capres yang menargetkan "pertumbuhan" lebih baik dengan memperbaiki gizi masyarakat Indonesia sehingga memiliki postur lebih baik dan sesuai referensi penelitian hidup lebih bahagia, lebih sedikit stres, worry, kesedihan, dan peluang pendapatan per kapita yang lebih baik. Mungkin dapat disimpulkan oleh judul tulisan di atas. Korelasi yang unik memang, tapi tidak ada salahnya diigaukan.
ps: mungkin program kerja yang sedikit mendekati ada pada capres nomor 1 yang punya perhatian pada "susu". :)
Young Economist (like me) Must Know
This is a list of 100 Wonderful Place that may make you love economics or may be an escape rope when you stuck on learning economics...
Just Click and Enjoy!
Special thanks for Arianto A. Patunru, my FEUI lecturer, who share these links via facebook.
Monday, June 8, 2009
Pendidikan? Proteksi?
Komentar salah satu tim sukses Capres (JK-Win), Saleh Husein:
Sistem pendidikan nasional saat ini juga menghadapi persaingan dengan lembaga pendidikan asing yang sudah merambah masuk ke dalam negeri. Ini sebagai akibat dari pasar bebas dan belum adanya pembelaan yang jelas dari pemerintah terhadap lembaga pendidikan nasional. baca artikel lengkapnyaPendidikan dianggap mahal dan pemerintah dianggap tidak mampu membagi "kue secara adil" Lucunya sekarang pemerintah ketakutan melihat penetrasi lembaga pendidikan asing di dunia pendidikan nasional yang "ngantuk". Istilah pendidikan nasional menjadi absurd. Adakah bedannya pendidikan nasional dan "internasional"? Bukankah soal kualitas? Namun, tampaknya isu bergeser mengatakan pendidikan nasional harus bermuatan budaya nasional.
Tentu hal ini tidak salah, melestarikan budaya lewat pendidikan bertujuan baik, apalagi ditengah sibuknya kita mempertahankan budaya yang ramai-ramai "dicuri" orang. Masalahnya benarkah itu tujuan dan alasan tepat menghalangi transfer ilmu yang lebih baik dari "luar" (ironis melihat banyaknya tuntutan agar pemerintah mempermudah link beasiswa ke luar negeri)
Apapun itu pasar bebas sekali lagi menjadi pelaku dan korban. Bahkan sampai-sampai pendidikan nasional perlu diproteksi. Padahal logikanya pendidikan asing yang dikenal mahal, jika masyarakatIndonesia makhluk rasional tentu mereka akan memilih pendidikan nasional yang relatif murah. Sebenarnya apa yang "dilindungi? Keterjangkauan pendidikan atau kualitas buruk pendidikan nasional yang "malas" bersaing? Ya anggap saja ini kesesatan pikir yang biasa dalam hiruk-pikuk kampanye...
Read More ..
Monday, June 1, 2009
Neo-liberalisme dan Jilbab
Melihat politik kampanye bangsa Indonesia, adalah cermin kondisi sosial masyarakat kita. Tiba-tiba saja masyarakat Indonesia alergi dengan neo-liberalisme (entah mereka paham atau tidak), tiba-tiba salah satu istri capres tampil ke depan publik menggunakan kain sebagai penutup kepalanya. Yang ada adalah kekikukan dan latah pada masyarakat dan politisi kita. Lalu, mengapa harus Neo-Liberalisme dan Jilbab?
Sederhana, ekonomi dan agama. Memang pada urusan perut dan akhirat lah hampir seluruh hidup manusia termaknai. Tidak heran isu ekonomi dan agama masih efektif dalam mempengaruhi (menakut-nakuti?) masyarakat Indonesia. Neo-Liberalisme itu jahat, tidak berjilab itu neraka. Kekanak-kanakan? Mungkin, tapi itulah kenyataan masyarakat Indonesia. Bukan mengkerdilkan masyarakat Indonesia bagai bocah yang tak tau apa-apa. Tapi sayangnya politisi kita memang pintar memanfaatkan keadaan. Alih-alih mengadakan diskusi panel terbuka soal apa itu liberalisme (tentu diskusi yang berimbang), alih-alih mengedepankan isu toleransi agama, alih-alih mendidik, politisi kita memilih membodohkan masyarakat kita. Mereka paham benar bahwa sebagian besar masyarakat sangat sensitif terhadap kedua isu tersebut. Jangan pilih yang Neo-Lib, pilih yang berjilbab.
Yang perlu disesalkan tidak lain realita kampanye masih berupa kampanye agresif, saling-serang. Sedikit sekali pemaparan visi dan misi, cuma dagelan menjurus black champaign yang kontraproduktif. Mereka bilang ini bagian pembelajaran politik dan demokrasi yang masih muda. Semoga benar begitu, dan semoga bangsa ini banyak belajar.
Friday, May 8, 2009
Crises Cycle
Quote of these days :
Macroeconomists need to apply some new lessons and relearn some old ones (economist.com)
Read More ..
"The greater of two evils", or Hey If You Become President
Judul dalam tanda petik diatas diambil dari salah satu judul artikel dalam Economist.com, dua iblis yang dimaksud tidak lain adalah inflasi dan deflasi.
Sekarang, sedikit berandai-andai: jika Anda menjadi Presiden dan sialnya entah karena Anda lahir di hari yang buruk atau lainnya, Anda langsung mengalami kesialan dalam awal masa jabatan Anda. Yap, Anda harus mengalami krisis ekonomi. Tapi kali ini Tuhan cukup baik, Anda dibolehkan memilih, mengalami inflasi gila2an atau kah deflasi yang juga parah. Negara yang Anda pimpin adalah Indonesia (dengan segala kondisi sosial, politik dan budayanya). Mana yang Anda pilih, inflasi atau deflasi?
Mungkin singkatnya, "memilih menjadi Zimbabwe atau Amerika Serikat di tahun '30 an?"
Just put your comment and some logical argument. By the way, of course, it's just for fun. :)
Saturday, May 2, 2009
Emmanuel Saez dan "Euforia" Fiskal
Tahun 2009 ini tampaknya benar-benar menjadi tahun fiskal
Selain berlomba-lombanya negara-negara pasien flu "finansial" menebus resep stimulus fiskal, dan kembali fiskal menjadi primadona, kali ini dalam penganugerahan John Bates Clark Medal.
Adalah Emmanuel Saez dari U.C. Berkeley yang mengangkat tema seputar optimal taxation dan isu wealth distribution berhak mendapt anugerah paling bergengsi bagi ekonom di bawah 30 tahun.
Mungkin ke depan isu-isu fiskal memang masih menjadi isu yang seksi untuk diperbincangkan ditengah mandulnya kebijakan moneter. Untuk Indonesia masalah pajak masih merupakan tantangan sendiri mengingat masih "muda"nya UU Perpajakan kita.
Bagaimanapun juga Selamat untuk Emmanuel Saez, dan jangan heran mungkin dua puluh tahun kemudian orang yang sama berdiri di Stockholm mengikuti jejak Paul Samuelson, Kenneth Arrow, Milton Friedman, Joseph Stiglitz, dan Krugman (para alumnus John Bates Clark medal)
untuk info lebih dalam mengenai penghargaan ini dan Emmanuel Saez silahkan klik link di bawah
http://www.vanderbilt.edu/AEA/clark_medal.html
Monday, April 13, 2009
Masih Kompetitifkah PEMILU (2009) kita?
Namun, apapun itu, lewat "mainan baru" bernama QuickCount masyarakat bisa melihat gambaran hasil Pemilu 9 April ini sembari menunggu tabulasi resmi KPU.
Berikut hasil menurut Lembaga Survei Indonesia: (http://www.lsi.or.id/riset), margin errror 0,9. dengan confidence interval 99%. (saat posting ini dibuat)
1. Demokrat -----------------20,5%
2. PDI Perjuangan -----------14,2%
3. Golkar --------------------13,9%
4. PKS----------------------- 8%
5. PAN ----------------------5,8%
6. PPP -----------------------5,2%
7. PKB -----------------------5,1%
8. Gerindra ------------------4,5%
9. Hanura --------------------3,8%
10. sisa lainnya 18,9% ---karena sisa 35 partai, maka asumsikan perolehan rata 0,54%
Namun, mari kita sedikit bermain-main dengan data partai diatas. Tentu kita setuju bahwa indikator "sales" dari jualan janji politik saaatkampanye adalah "suara". Maka bisa dikatakan angka dalam persen diatas sama saja dengan market share peserta Pemilu.
artinya HHI = ((20,5)^2 + (14,2)^2 + (13,9)^2 + ...)) = 1010,686
menurut teori bila HHI berada antara 1000-1800 maka terjadi moderate concetrated (nb: bila <1000>1800 ada highly concentrated atau monopoli).
Perhitungan kita menunjukkan HHI Pemilu 2009 adalah 1010,686 berarti adanya indikasi terkonsentrasinya suara pada beberapa partai tertentu..Implikasinya tidak lain adalah persaingan oligopolistik, artinya partai2 akan bersikap seperti pelaku usaha di pasar oligopoli entah bernama "koalisi", akuisisi partai kecil, dll.
Masihkah Pemilu kita kompetitif? Data mengatakan tidak, tetapi sebenarnya hal itu bukan masalah justru ada indikasi baik bahwa suatu saat (in the longrun) sesuai perilaku oligopoli jumlah partai akan mengerucut. Namun, tentu politik bukan sesimpel persaingan usaha industri, banyak irasionalitas dan anomali yang terjadi. Read More ..
Thursday, March 12, 2009
Fiskal dan Sepakbola, keluhan dari Lyon
Presiden Klub Lyon Jean-Michel Aulas mengatakan, kegagalan klubnya juga harus menjadi tanggung jawab penyelenggara sepak bola di Perancis. Menurut dia, struktur sepak bola Perancis sangat tidak kuat. Klub Perancis juga kalah bersaing secara finansial dengan klub Eropa lainnya. ...Menurut Aulas, klub-klub Eropa di luar Perancis bisa maju karena didukung kebijakan pemerintah, seperti keringanan pembayaran pajak. Sebuah bentuk kritik yang unik dari Aulas cukup menarik diperhatikan. Apalagi jika mengingat postingan sebelumnya dalam Liga Sepakbola Terbaik... yang mencoba melihat kemungkinan pengaruh kebijakan fiskal dalam sepakbola. Walaupun disadari Aulas dan penulis memandang dari perspektif yang sedikit berbeda, hal ini makin menguatkan adanya pengaruh kebijakan fiskal sebuah negara dalam perkembangan sepakbola mereka. Sebuah hipotesa yang masih kabur tapi cukup terbukti.
Kompas, Jumat, 13 Maret 2009 | 05:21 WIB
Sunday, March 8, 2009
Status Quo Hutan? Sebuah tinjauan teoritis* (part 2)
Masalah Penebangan Hutan
Sebelumnya kita mengetahui QL adalah sebuah titik optimum yang telah ditetapkan sesuai persamaan [1], sehingga apabila QIL dimanfaatkan, atau pada kasus illegal logging, terjadi Qo + (QIL atau QIL*) > Qo, maka QIL atau QIL*menjadi excessive (karena melebihi titik optimum (Qo) . Secara teoritis dapat digambarkan bentuk eksternalitas negatif dari excessive logging ini dengan:
Sesuai buku Economic for Public Sector (Joseph E. Stiglitz: 2000), kita ketahui kegiatan excessive termasuk illegal logging (yang terbukti sesuai persamaan [3] sebelumnya) akan menghasilkan eksternalitas negatif. Terlihat karena pada QL+(QIL atau QIL*) Marginal Social Cost lebih besar dari Marginal Private Benefit (MSC > MPB). Terjadi inefesiensi karena seharusnya titik efisien ada pada QL, tetapi di pasar terbentuk keseimbangan dengan QL+QIL*. Tentu saja banjir, kepunahan hayati, dan bencana alam menjadi ancaman (dari sisi ekologis) yang siap menanti
Teorema di atas tentu masih merupakan pemikiran mentah penulis yang terusik tentang permasalahan hutan. Dapat dilihat pada data statistik, betapa kerusakan hutan sudah mengkhawatirkan. Namun, pada dasarnya pemikiran mentah di atas ingin menyampaikan setidaknya tiga pesan penting. (1) Melalui analisa pada bagian Forest Dilemma, perlu dievaluasi apakah dalam penentuan HPH, pemerintah sudah menghitung trade-off antara utilitas ekologis dan ekonomis hutan, tentu perlu kerjasama intensif antara economist dan enviromentalist (dalam analisa AMDAL). (2) Reformasi birokrasi adalah hal mendesak dilakukan karena kausal utama “bocornya” HPH adalah suap dan sistem birokrasi bawah meja, (3) Perlu disinsentif ekonomi yang tepat untuk menyelesaikan sengketa hutan karena hutan bukan melulu masalah lingkungan tetapi sudah memasuki ranah ekonomi.
Status Quo Hutan? Sebuah tinjauan teoritis* (part 1)
Berawal dari sebuah tugas PBL di kampus FEUI , mengenai analisa kebijakan publik dalam kasus illegal logging di Riau (artikel MetroRiau ,“Pembalakan Liar Masih Menghantui”, 1 April 2008), terlintas dipikiran penulis mengenai sengketa hutan yang tampaknya tidak pernah berhenti. Sebagai homo economicus, apa yang dilakukan penulis adalah mencoba melihatnya dari sudut pandang tersendiri.
Forest Dilemma
Grafik FUPC (Forest’s Utilities Possibility Curve) di atas menjelaskan adanya trade-off dalam pemanfaatan utilitas hutan. Apabila kita menggunakan hutan pada utilitas ekologis saja, E max atau P= 0, hal ini terjadi pada kasus hutan lindung. Sebaliknya, apabila E= 0, maka kita gunakan seluruh P atau E= 0 , mungkin terjadi apabila kita membabat suatu hutan habis entah demi kayu ataupun untuk membuka lahan pertanian. Pada kasus P*, adalah kasus umum sebuah hutan dimana kedua fungsi E maupun P diperebutkan. Apabila manusia ingin meningkatkan fungsi ekonomis (P*-->P**, P*>P**) maka lewat mekanisme penebangan kita dengan sendirinya mengurangi utilitas ekologis hutan (E*-->E**, E*< E**).
* Teroritis yang dimaksud tentu bukan teori ekonomi yang terbukti. Berasal dari pemikiran kigendengwaras (penulis) sendiri, sehingga bisa dikatakan ini merupakan sebuah jurnal mini dari sakit kepala memikirkan hutan yang dirasakan oleh kigendengwaras dan dirasa perlu dilampiaskan dalam suatu bentuk tulisan bergambar.