tag:blogger.com,1999:blog-53696320694279239032024-02-20T08:04:33.535-08:00Memoar Ekonomi: sebuah catatan pemikiranLamunan manusia mengalir deras tanpa batas, apa yang mengalir akan hilang tanpa jejak...
Memoar ini adalah sebuah upaya kecil menampung aliran deras itu, menahannya sehingga mampu memutar turbin pemikiran , berharap menjadi energi bagi sekitarnya...kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.comBlogger58125tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-14965347485091622252009-11-27T00:43:00.000-08:002009-11-27T00:52:57.722-08:00Keanehan Kasus CenturyBukan. Yang kigendeng permasalahkan bukanlah soal apakah BI menetapkan standar ganda, atau isu resiko sistemik hanya akal-akalan belaka, semuanya masih penuh kabut misteri dan sulit diungkap tanpa investigasi lanjutan.<br /><br />Justru yang kasat mata yang aneh, setidaknya 2 hal:<br /><br />1. Mengapa isu century justru semakin fokus pada pencopotan Boediono dan Sri Mulyani alih-alih mencoba meminta keterangan lebih lanjut dari Robert Tantular. Tentu bukannya mentah-menatah percaya tidak ada keterlibatan dua tokoh tersebut, tetapi isu tersebut sudah terlalu jauh dan merusak stabilitas ekonomi makro yang membaik. Bukan kah media juga yang tiap tahun memuja-muji Sri Mulyani bak dewi penyelamat?<br /><br />dan yang paling lucu,<br /><br />2. Mengapa anggota dewan (DPR) dengan dalih "demi rakyat" menjadi pihak yang paling sibuk dengan raibnya 6,7 trilliun. Seharusmya yang ribut adalah bank-bank yang tergabung dengan LPS (Lembaga Penjaminan Simpanan) kan? Toh, 6,7 Triliun berasal dari <a href="http://www.antaranews.com/berita/1259279895/lps-dana-bailout-century-dari-premi-anggota">premi anggota </a>, bukannya APBN? atau jangan-jangan ada uang anggota dewan tersebut yang masih tersendat di Century?<br /><br />This is Indonesia!kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-81182884897532906652009-10-22T10:29:00.000-07:002009-10-22T10:41:21.029-07:00“Bagaimana Ekonomi Bekerja di Kehidupan Sehari-Hari”Setelah termenung sekitar dua puluh menit, tampaknya tidak ada kata-kata yang lebih baik untuk menggambarkan seluruh isi tulisan singkat ini selain judul tulisan di atas. Kata-kata itu pula yang dirasa paling pas menggambarkan isi, makna, tujuan, dan insentif saya menulis blog “memoarekonomi.blogspot.com”. Sebagai mahasiswa fakultas ekonomi, sungguh tidak adil rasanya menyimpan sendiri betapa menyenangkannya ekonomi itu. Banyak sisi-sisi yang hampir tidak tergali oleh apa yang mungkin orang awam pahami. Namun, sebelum bicara lebih jauh satu pertanyaan yang terlintas adalah bagaimana saya membagikannya? Setelah mengeliminasi beberapa opsi-opsi konyol, pilihan jatuh pada blog. Alasannya cukup sederhana, blog menjangkau seluruh orang di dunia, asalakan komputer atau laptop mereka terkoneksi tentunya. Kita bebas menuliskan pendapat dan bebas memberikan komentar. Hal ini baik sekali untuk memicu diskusi-diskusi dengan perspektif yang beragam.<br /><span class="fullpost"><br />Dunia ekonomi sungguh menyenangkan. Itulah kira-kira pesan utama blog ini. Selama ini masyarakat awam hanya mengetahui ekonomi sebagai sesuatu yang kaku dan tidak jauh-jauh dari uang. Pendapat yang separuhnya benar, tapi separuhnya salah. Ekonomi justru lebaih jauh lagi daripada uang. Betapa prinsip-prinsip ekonomi justru dapat menjelaskan menagapa seseorang bertindak, atau dalam skala besar mengapa sebuah negara mengambil kebijakan. Mungkin sebagian dari kita sudah pernah membaca Freakonomics kataya Steven Levitt (bagi yang belum sebaiknya segera membeli buku ini). Levitt berhasil membawa pesan lain dari ilmu ekonomi, dia berhasil meyakinkan bahwa manusialah obejk utama ilmu ini. Secara bawah sadar kita bertindak sesuai suatu mekanisme yang tak terlihat. Motif-motif yang selama ini terselubung, secara iseng diselidiki oleh ekonom-ekonom untuk sekedar iseng atau tujuan yang lebih jauh. Sejalan dengan Levitt, blog “Memoar Ekonomi” menghadirkan sebuah perspektif yang berusahan mendekatkan dunia nyata dengan ilmu-ilmu ruang kelas.<br /><br />Topik-topik usil seperti, Mengapa Zlatan Ibrahimovic pindah ke Barcelona? Bagaimanakah judul lagu menggambarkan prinsip-prinsip ekonomi? Hingga topik sedikit berbobot seperti supply and demand, apakah hutang itu baik? Mengapa impor gula masih diperlukan? Dibahas dengan tentunya keterbatasan seorang mahasiswatingkat strata satu (S1). Bagaimanapun juga, lewat blog ini, pembaca diajak “menggaruk” isu-isu yang beredar dari perspektif ekonomi. Pesan moralnya adalah kehidupan kita tidak terlepas aspek ekonomi, tentu bukan soal uang dan profit semata.<br /><br /><div style="text-align: justify;">Pemuda seusia kita memang seharusnya lebih berani mengemukakan pendapat. Jangan takut sok tahu. Iya, mungkin ekonom-ekonom bergelar doktorakan tertawa kecil saja melihat tulisan-tulisan ngawur khas mahasiswa lewat blog ini (kita). Namun saya yakin bukan itu ide utamanya. Keberanian berperndapat dan berkontribusi lebih bagi orang lainlah yang utama. Blog ini memang berusaha mengisi ruang berpikir kita dari sisi ekonomi tapi tentu banyak blog lain yang bisa memperkaya rasa ingin tahu dan kapasitas intelektual kita. Justru sangat beruntung generasi inimemiliki media yang dengan murah dan cepat membagi pengalaman dan pengetahuan kita. Semoga blog –blog di Indonesia dapat menjadi “kopi” yang selalu membangunkan intelektualiras pembacanya. Keep blogging!<span style="" lang="IN"><i style=""></i><o:p></o:p></span></div><br /></span>kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-36980344269376299302009-10-19T19:20:00.000-07:002009-10-20T19:48:15.121-07:00SBY's AppetiteIndonesia masih menunggu "peluncuran" Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II setelah pidato pelantikan baru saja berlangsung. Isu paling seksi tetaplah pos-pos ekonomi. Setidaknya ada dua pos penting Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian<br /><br />Sri Mulyani memberikan harapan akan konsistensi kebijakan yang selama ini mampu, setidaknya mengangkat Indonesia dari krisis, walaupun di sisi lain merupakan berita buruk bagi pengusaha <span style="font-style: italic;">bandel</span> yang berharap akan kelonggaran pajak. Menteri Keuangan relatif aman kritik, tapi bagaimana dengan Menko Perekonomian?<br /><span class="fullpost"><br />Sulit menduga Hatta Rajasa terpilih dari sekian banyak opsi ahli-ahli "murni" ekonomi. Agak sulit menerka-nerka apa alasan kuat SBY memilih beliau. Isu "anak emas" sudah menempel pada Hatta Rajasa, melihat kesetiaannya mendampingi SBY sejak tahun 2004.<br /><br />Bukan bermaksud membela, tetapi masih ada sedikit benang merah yang cukup rasional dalam kasus ini. Sejak awal ada indikasi bahwa Boediono sebagai wapres akan punya porsi besar dalam pengambilan kebijakan ekonomi. Melihat hal tersebut ada satu hal penting yang selalu didengungkan oleh Boediono, soal infrastruktur (baca posting sebelumnya).<br /><br />Di sinilah celah benang merah tersebut. Hatta Rajasa sudah memimpin Departemen Perhubungam dari tahum 2004 - 2007. Tentu 4 tahun tersebut merupakan waktu yang cukup untuk mengenal tantangan sistem perhubungan kita. Selama ini sistem transportasi ditufing (bahkan oleh Boediono) sebagai sumber <span style="font-style: italic;">high-cost economy </span>yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam hal ini, termasuk dalam pengembangan potensi daerah dan pengentasan <span style="font-style: italic;">inequality </span>pusat-daerah.<br /><br />Justru posisi Hatta akan sengaja dispesialisasikan untuk menyelesaikan masalah tersebut lewat pos yang lebih sentral yaitu Menko Perekonomian. Dengan bekal pengalaman masa lalu Hatta Rajasa bisa melakukan analisa mendalam dan mengambil kebijakan yang tepat untuk solusi ini. Sedangkan masalah perekonomian yang lain ditangani Boediono. Ujungnya, sebenarnya di departemen koordinasi Perekonomian terdapat <span style="font-style: italic;">duumvirate leader</span> (dwitunggal kepemimpinan) yang tidak tampak. Duet pemimpin inilah yang mungkin diharapkan saling melengkapi<br /><br />Tentu ini sekedar analisa dan murni opini. Hanya SBY yang tahu tujuan teknis-politis dalam penujukkan ini. Yang patut diingat, setidaknya ada 2 hal penting dari sisi ekonomi. Pertama, SBY harus bisa meyakinkan pasar bahwa pilihannya tepat, sebab ketidakpercayaan pasar sangat mengganggu stabilitas yang selama ini menjadi citra pemerintahan SBY. Kedua, SBY dan kabinet barunya di bidang ekonomi bisa melakukan program sinergis antar-departemen lewat perncanaan jangka panjang, idealnya lebih dari sekedar agenda 5 tahunan.<br /></span>kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-8698959759434143092009-10-19T04:02:00.000-07:002009-10-19T04:47:00.758-07:00Blogging Economist GenerationDalam ilmu ekonomi tentu kita mengenal pentingnya <span style="font-style: italic;">information. </span>Bahkan, informasi asimetrik merupakan salah satu penyebab kegagalan pasar yng amat dikenal. kekuatan informasi inilah yang juga menjadi obyek kajian menarik dalam menimbang kembali berbagai konsep mulai pasar bebas, <span style="font-style: italic;">laissez faire</span>, hingga mitos kaptalisme. Tetapi kita akan sedikit rileks dan menaruh sejenak topik-topik berat tadi ke kantung pikiran kita. Yang ingin kita bahas di sini merupakan kasus simpel, bagaimana informasi benar-benar menyebar ke seluruh dunia dan berhasil menjadi kekuatan yang benar-benar '<span style="font-style: italic;">invisible hand' </span>menggerakkan masyarakat banyak. Tersangka utamanya jelas internet.<br /><br />Internet memangkas biaya pengiriman pos surat dalam beberapa detik dengann sedikit bunyi 'klik' sesekali. <span style="font-style: italic;"> </span>Informasi benar-benar tumpah. Thomas Friedman dalam <span style="font-style: italic;">The World is Flat</span> menyamakan kehadiran internet setara runtuhnya tembok berlin. Sebuah kebebasan yang tak terduga membanjiri seluruh dunia. Termasuk blog.<br /><br />Blog bukan sekedar diari-diari pribadi atau website pribadi. Terkait dengan apa yang kita bahas, blog merupakan contoh kekuatan informasi. Sungguh tidak terbayangkan orang begitu mudah menyampaikan ide, berdiskusi, atau sekedar <span style="font-style: italic;">narsis</span> di depan jutaan masyarakat dunia. Tanpa border negara, suku, ras, dan budaya. Tentu tidak sepenuhnya masih ada border bernama biaya kan?<br /><span class="fullpost"><br />Namun, lebih menarik lagi bahwa jika kita sadari pengguna blog bukanlah sekedar orang-oprang iseng. Terlebih dalam bidang ilmu ekonomi, sungguh fantastis melihat pemikiran-pemikiran brilian sekelas Prof. Greg Mankiw, Peraih Nobel Paul Krugman, hingga si <span style="font-style: italic;">nyeleneh </span>Steven Levitt tumpah ruah dalam blog-blog pribadi mereka. Ekonom-ekonom sekelas mereka dapat dengan cepat menanggapi fenomena-fenomena yang terjadi sehari-hari. Tanpa erlu repot mencari jurnal-jurnal mereka (yang tentu memungut waktu dan biaya) dengan blog kita dengan mudah melihat bagaimana mereka melihat dunia dibalik kacamata <span style="font-style: italic;">economics</span> mereka. Intinya adalah arus ide yang cepat ditanggapi masyarakat. Tentu tak bisa dibayangkan seorang dari Merauke bisa menaggapi tulisan Professor dari Harvard hanya lewat blog.<br /><br />Begitu pula dengan blog ini, walaupun masih muda dan asal-asal saja, spirit yang sama tetap dibawa. Membawa ide-ide segar tanpa takut kehadapan masyarakat luas yang terbuka. Betapa baif dan sok tahunya tulisan-tulisan ini bukan problem utama. Toh, jika jelek lupakan saja atau caci maki saja. Yang jelas generasi baru sudah muncul. Lewat blog seharusnya ekonom-ekonom muda (mahasiswa dan pelajar) kita berani mengeluarkan pendapat sekedar memberi sumbangsih bagi iklim diskusi yang mulai dimonopoli sepakbola, politij, hingga Miyabi.<br /><br />Tentu pandangan ini tidak tertutup bagi pemikiran-pemikiran lain di luar ekonomi. Idenya jelas jadikan blog sarana kita untuk berkembang dan biarkan dunia tahu celotehan kita. Selamat <span style="font-style: italic;">blogging </span>teman!<br /></span>kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-51590211013746774092009-10-18T20:22:00.001-07:002009-10-19T03:59:00.890-07:00Charter Cities: Radical Concept for DevelopmentAda sebuah pertanyaan besar dalam ekonomi pembangunan (<span style="font-style: italic;">economics development</span>). Apakah negara-negara maju dapat berperan dalam membantu perkembangan negara -negara berkembang? Sebagian besar dari kita akan berkutat dengan sinisme dan bayang-bayang imperialisme modal asing ataupun segera mmembayangkan liberalisasi ala IMF dan lain-lainnya. tetapi Paul Romer (ekonom Stanford University) menjawab "bisa" dengan cara yang lain. Konsepnya cukup radikal, mengembangkan sebuah <a href="http://www.chartercities.org/concept"><span style="font-style: italic;">charter cities</span>"</a><span style="font-style: italic;"></span>. Mengapa kota?<br /><span class="fullpost"><br />Inspirasi datang dari Hongkong. Sebuah kota dengan perekonomian termaju di China. Dan, ada satu fakta yang kurang diperhatikan, kota itu dibentuk dalam suatu kondisi unik. Kepemilikan bersama Inggris dan China. Benar, bahwa banyak konflik dan perang fisik dalam pengembalian secara utuh ke negeri China Yang menjadi poin penting adalah bagaimana kota itu tumbuh dengan iklim perdagangan terbuka ala "barat, tetapi harus berada dalam kontrol ketat ala sosialis China. Hasilnya, Hongkong menjadi suatu kota yang modern, mampu menarik investasi, dan tetap mempertahankan kesejahteraan rakyat China.<br /><br />Di sinilah ide Romer bermula. Jika negara maju mau menciptakan suatu bentuk pemerintahan kota bersama yang memberdayakan penduduk negara berkembang, maka penduduk di negara berkembang mempunyai banyak pilihan. Indonesia misalnya, bisa bekerja sama dengan Australia dan menetapkan suatu kawasan kosong, mungkin di Australia ataupun di Indonesia dan menciptakan suatu kota berdasarkan <span style="font-style: italic;">charter</span>. <span style="font-style: italic;"></span> Di kota ini penduduk Indonesia tetap berada dalam payung hukum Indonesia. Hal ini termasuk mekanisme paja, yaitu penerimaan pajak penduduk dengan kewarganegaraan Indonesia tetap masuk ke APBN. Australia mendapat kesempatan meluaskan pasar industri mereka yang hampir <span style="font-style: italic;">mentok</span> akhir-akhir ini. Dengan iklim investasi mudah maka pihak asing lain dapat dengan mudah menanamkan saham. Dan terpenting terjadi<span style="font-style: italic;"> spill over</span> teknologi dan modal, mengingat modal dan teknologi masih menjadi <span style="font-style: italic;">missing factors </span>dalam proses industrialisasi Indonesia (tipikal negara berkembang).<br /><br />Konsep ini masih mentah dan sedikit radikal. Menmbayangkan proses kerjasama bilateral hingga pemerintahan kota bersama terlihat tidak <span style="font-style: italic;">feasible </span>tetapi bukan tidak mungkin dilakukan.<br /><span style="font-style: italic;">Just an idea,</span><br /></span>kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-46703667955671212502009-10-13T06:41:00.000-07:002009-10-13T06:47:07.080-07:00Nobel Leaurate 2010And the unpredictable one goes to...<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjKfxXTeDlC-lnsVMxxwn_eovMKEICJR0BL3SCND9npB8wmT4loac8Rec-JxoJQfNi_pvrFUxZVbTFR4K6ySfhvVCeAnU3AuDVBdYxuq9lAUJGvRKegkINctluj4yqm0tFEB8ETIGKoiiU/s1600-h/Untitled-1_1500041c.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 320px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjKfxXTeDlC-lnsVMxxwn_eovMKEICJR0BL3SCND9npB8wmT4loac8Rec-JxoJQfNi_pvrFUxZVbTFR4K6ySfhvVCeAnU3AuDVBdYxuq9lAUJGvRKegkINctluj4yqm0tFEB8ETIGKoiiU/s320/Untitled-1_1500041c.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5392080307910651746" border="0" /></a><br />see <a href="http://nobelprize.org/nobel_prizes/economics/laureates/2009/info.pdf">full story</a>kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-41284452381250614112009-10-06T22:10:00.000-07:002009-10-06T22:15:30.067-07:00HDI Repor t Update:Newest release from UNDP, <a href="http://www.economist.com/daily/chartgallery/displayStory.cfm?story_id=14582820&source=features_box4">Human Development Index</a>. World still polarized between Scandinavian and African.kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-65061498810306559192009-10-06T22:08:00.000-07:002009-10-06T22:09:56.571-07:00Big Mac Index: An Alternative<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOSzouwIXuCBsvZCR93b62XmGfj4wy6e1CHyzVmNBKmQ1zQK-O4yKL86QlEpoVzs0kDwbErMg_PPKHkQ0ZS1NqDw3lDGdI4QyF68LZj9wiIfyn95IE8Z3njo9gTTbzeQDSF_z187-WrK3K/s1600-h/Mac.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 320px; height: 290px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOSzouwIXuCBsvZCR93b62XmGfj4wy6e1CHyzVmNBKmQ1zQK-O4yKL86QlEpoVzs0kDwbErMg_PPKHkQ0ZS1NqDw3lDGdI4QyF68LZj9wiIfyn95IE8Z3njo9gTTbzeQDSF_z187-WrK3K/s320/Mac.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5389720875083272498" border="0" /></a>kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-7427567059573430012009-10-04T07:43:00.000-07:002009-10-19T03:58:26.032-07:00Do We Need Axioms?The title above is quite clear enough to understand. For many student on economics, especially who are taking advance micro economics shall frustating why they need so many axiom just to explain a demand (or supply) curve? It is true, <span style="font-style: italic;">necessary</span>?<br /><br />I got a good explaination from Prof. Iwan Jaya Azis, Cornell Unversity, when he though about General Equilibrium, as written on his article <span style="font-style: italic;">'Antara Teori dan Intuisi' (between theory and intuition). </span>One day a student of his class questioning why he must learn Debreu axioms. Let me sum up their conversation:<br /><span class="fullpost"><br />Student (S) : I think a simple economic model is quiet enough to explain our daily economic phenomena.<br />Iwan J. Azis (A): What do you mean about "daily economic phenomena"?<br />(S) : Suppose that US government canceled such a tariff import policy on clothing from Asia. It easily predicted that cloth price will fall, since increasing on supply (caused by import flow). I just use demand-supply model without confusing on axioms, right?<br />(A) : How?<br />(S) : It simply because demand curve has negative slope.<br />(A) : Who said that? Since you accept a postulate that demand curve has negative slope and supply has positive slope, you are using some assumption. For example, cloth is a commodity that its substitution effect is less than income effect, so consumen behaviour is normal. It implies you assumed that cloth definetly not a giffen goods?<br />(S) : Yes, I am<br />(A) :So, what kind of assumption we need to draw an indifference curve for this case?<br />(S) : Curve must be convex, continous, and has monotonicity<br />(A) : <span style="font-weight: bold;">You just already said Debreu axioms.</span><br /></span>kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-6976419898456281012009-09-15T10:24:00.000-07:002009-09-17T05:13:38.840-07:00Boediono: Infrastructure!Last Monday, Prof. Boediono the elected vice-president, came to the town. Giving some general descriptive about our macroeconomics condition, that overall could been read on his <a href="http://www.gramediashop.com/book/detail/9789799101891">new book</a>. For me, most important point of his speech is about government critical issues for next 5 years. Boediono put stress on infrastructure. They are, physical infrastructure, soft infrastructure, social infrastructure, and creativeness. I fully agree, since remembering <a href="http://memoarekonomi.blogspot.com/2009/08/looking-for-best-way-to-welfare-build.html">previous post</a>kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-51184093406838414072009-09-11T07:50:00.000-07:002009-09-11T08:01:44.288-07:00Bail Out?I just questioning, why people think that Rp. 6,7 T for Bank Century is a bail out? "Bailout" terms will confusing us and misleading about, where did the money came from?<br /><br />It is important to understand that Rp. 6,7 T is come from LPS (<span style="font-style: italic;">Lembaga Penjaminan Simpanan</span>). It mean there are no one rupiah is allocated from APBN. LPS funds was came from BPPN liquidation on 1998 (BPPN is a temporal institution which created facing '98 crisis) and collected premium from all Indonesian bank. So, protest again LPS injection, because it use "society money" (<span style="font-style: italic;">uang rakyat</span>), is no more relevant.<br /><br />But, I agree that we must questioning the transparency and calculation of injection amount.kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-9150418112350987942009-09-02T07:10:00.000-07:002009-09-02T07:34:41.567-07:00Indonesia Dijual?Benarkah Indonesia sedang dilelang lewat situs <span style="font-style: italic;">http://www.privateislandsonline.com</span>? Setelah Sipadan dan Ligitan Indonesia siap melepas beberapa pulau lagi dengan hanya $1,000,000 - $ 8,000,000. Gila, tentu jika bagian sebuah negara bisa dijual dengan harga sejumlah tersebut.<br /><br />Maka gila pula orang yang mentah-mentah menerima logika media massa, yang sedang asyik menggembar-gemborkan penjualan beberapa <span style="font-style: italic;">resort</span> pulau di Mentawai. Sebelum melacak siapa saja pembeli pulau tersebut, lebih baik menangkapi orang asing yang memiliki rumah di pinggir jalan dekat Anda atau mungin Anda sendiri yang baru saja membeli rumah atau tanah.<br /><span class="fullpost"><br />Apakah dengan membeli pulau tersebut, si pembeli lantas boleh bertindak di luar hukum Indonesia dengan, yah, membunuh orang sekenanya disana dan tidak bisa ditangkap? Disini lah perlu disadari tidak semudah itu "menjual" negara. Memang perlu dikaji lebih lanjut jenis hak apa yang diperoleh dari penjualan tersebut (tentu teman-teman fakultas hukum lebih tahu). Jika yang dibeli hanya hak sewa atau hak mendirikan usaha bahkan penjualan itu justru positif bagi perekonomian Indonesia (<span style="font-style: italic;">toh</span> selama ini pulau-pulau itu dianggurkan). Benar perlu aturan tegas untuk mengawasi kepemilikan tanah oleh asing. Pemerintah bisa saja menetapkan batas luas. Jika tidak bisa, cukup memberi hak sewa, mendirikan bangunan, atau izin usaha dengan menindihnya dengan kebijakan fiskal yang menguntungkan bangsa ini. Rasanya terlalu buru-buru menuduh.<br /><br />Jadi tidak ada itu namanya "Indonesia sedang dijual?". Sayang, jawabannya ada. Indonesia adalah <span style="font-style: italic;">rechstaat</span>, negara hukum. Ketika hukum dibeli disitulah negeri kita dijual. Justru di Pengadilan-Pengadilan Negeri, di kantor-kantor polisi atau mungkin Gedung DPR/MPR bangsa ini sedang diobral.</span>kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-15197958720890482242009-08-31T07:53:00.000-07:002009-08-31T08:20:30.233-07:00Quotes For This Semester<blockquote></blockquote>Greg Mankiw asked to pick 15 Harvard's freshman to took his Seminar (linked on books's suggestion). Simply, he could fill up the class with top fifteen highest SAT (like <span style="font-style: italic;">Hasil Ujian Nasional</span>). Here's the answer...<br /><blockquote>...but I won't, as <span style="font-weight: bold;">there is more to life than test scores</span>. I am <span style="font-weight: bold;">looking also for passion about the subject, interesting life experiences</span>, and <span style="font-weight: bold;">a balance among the group of students to promote good discussion</span>...<br /></blockquote>Pure inspiration for students who looking for an alibi [read: why they have middle-low or lower GPA] -> including me..laugh..I agree that a group student like me (middle-lower grade) will make class discussion more "lively"<br /><br />Thanks Professor Mankiw, moreover for your <a href="http://gregmankiw.blogspot.com/2009/08/impossible-task.html">books suggestions.<br /></a>kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-48511226684203731102009-08-28T22:34:00.000-07:002009-08-28T22:44:05.617-07:00Blog Update: "Read More" ThingsI've made some improvement on our beloved blog. To simplifyi main page, Kigendeng posting will not fully displayed. So, kigendeng add "read more" link. To open whole posting just click the "Read More" link...Hopefully you'll enjoyed. But, sorry for everyone, who feel inconvenience. Thankskigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-89050393386173121822009-08-28T20:52:00.000-07:002009-08-28T21:08:52.719-07:00Atheist Must Concern...This picture below is taken from <a href="http://www.fourblockworld.com/horton/?articleid=6387"><span style="font-style: italic;">fourblockworld.com</span></a><span style="font-style: italic;"></span>. I found this link from <a href="http://jahenfr.blogspot.com/<br />">Jahen's blog.</a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeyP8cLs7p1eciBcVkaZOU18sBG55MHKevpzaYdMYQVp8ONRzHjALWeX_Dwc-fngxmulnu2OBexJr1-YTEH7Y_tAb0XEUotgtgJyvH6x8_XnpjCkZiZnQ-68ALjtx5BxNxE5M2dIYJ7_8n/s1600-h/6a00d834515db069e2011571255a3f970c-800wi.gif"><img style="cursor: pointer; width: 304px; height: 229px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeyP8cLs7p1eciBcVkaZOU18sBG55MHKevpzaYdMYQVp8ONRzHjALWeX_Dwc-fngxmulnu2OBexJr1-YTEH7Y_tAb0XEUotgtgJyvH6x8_XnpjCkZiZnQ-68ALjtx5BxNxE5M2dIYJ7_8n/s320/6a00d834515db069e2011571255a3f970c-800wi.gif" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5375230566141738322" border="0" /></a><br />I think believe in God still our optimum strategy.kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-16398521534777868672009-08-28T06:16:00.000-07:002009-08-28T22:27:08.925-07:00"Simalakama" Taste SweetIndonesian people shocked. Sugar price nowadays reach Rp. 10.500. Even in <span style="font-style: italic;">Ramadhan</span> season, this price booming seems unexplainable. But, it still interesting that how people blame world market for sugar booming<br /><br />There was a dilemma. Like other food commodity, sugar farmer feel normal sugar price are too low. On January 2009 (<span style="font-style: italic;">Kompas,</span> 27 August 2009) price of rafinated sugar only $310 per tons. Fantastically, in 24 August price bounce up to $615 per tons. World price fluctuation is pointed out as main factor, which lead domestic price going higher. Sugar farmer looked happy, not so consumer (also me). Just like eating <span style="font-style: italic;">simalakama </span>fruit, our ancestor said.<br /><span class="fullpost"><br />So, it's fair to blame the world market? It is true that our circumstance will get better if we going to autarky? I don't think so. <span style="font-style: italic;">Sucofindo co.</span> assumed that our domestic production was only 2,74 million ton per year. Our Industrial (middle-higher scale) consumption is about 1.054.121 ton per year. At household level, we consume 11,86 kg per capita (since we have 200 million people, it means we consume 2.372.000 ton per year). From those sector, exclude household industry and small-scale industry, we need 3.426.121 ton per year. The only way is doing import.<br /><br />Increasing import tariff idea and stop sugar import truly unrealistic. For short-run solution we need import. Further, we must consider on how we strengthen our supply side (more productivity) than consider on banning sugar import or close our sugar trade.<br /><br />Yes, it's like eating <span style="font-style: italic;">simalakama</span> fruit, but this one taste sweet<br /></span>kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-88629522663179062072009-08-27T03:39:00.000-07:002009-08-28T22:46:54.229-07:00Gorontalo, The Black Swan of Indonesia<span class="fullpost"><br />We, Indonesian, or may be people in whole world commonly accept that there are such a gender discrimination in daily life. I'm not going to ignore that, especially from my Indonesia point of view about education.We know about great struggle of Kartini at the past against Javanese culture named <span style="font-style: italic;">"pingitan".</span> (Women are believed to stay at home and didn't need to got education experience.)<br /><br />In modern days, may be "<span style="font-style: italic;">pingitan</span>" was no more than folklore. But, data told the truth. <span style="font-style: italic;">Selected Social-Economics Indicators of Indonesia</span> <span style="font-style: italic;">2008</span> reported that there are some gap on gender term in Indonesian education. Adult literacy rate in Indonesia for Male reach 94,56% , for female just 88,39%. . Further, Mean years of schooling told similar sense. Indonesian male spend 7,9 years for schooling but female group only spend 7 year (approximately just finished elementary school.<br /></span><br /><br />Nassim Nicholas Taleb proposed <span style="font-style: italic;">The Black Swan Theory</span>.<span style="font-style: italic;"> </span>There are some rare event beyond our normal expectations. We need not traveling to Western Australia in purpose to see the black swan (on denotative meaning). Let's us flight to Gorontalo (another new province after decentralization in Indonesia). On paragraph above, we saw such a disrimination by gender on Indonesian education. Women got less. But not at Gorontalo. Gorontalo's female have spend 7 years for shooling but their male spend 6,5 years. Same story on adult literacy rate, approx. 95,93% women an read, when only 95,47% of male.<br /><span class="fullpost"><br />I still couldn't explain why. Even a <span style="font-style: italic;">matrilinealistic</span> culture like <span style="font-style: italic;">Minangkabau</span> have, the data follow same pattern like <span style="font-style: italic;">normal</span> gender disrcimination (adult literacy rate and mean years for schooling for women is less than male group). The Black Swan theory seems true. But, I also interested of one exciting fact. In Indonesia 79,6% of women have used contraceptive but 84,98% Gorontalo's women have it. It looks like there are some correlation between eduation and demographic problem, especially facing population booming.<br /></span>kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-82612022227904451162009-08-25T21:15:00.000-07:002009-08-28T22:49:12.798-07:00BOP-B: Just an Ideas (part 2)(melanjutkan posting sebelumnya)...Apa arti 3 langkah perubahan yang kita lakukan?<br />Melalui lembaga yayasan beasiswa yang dikelola Universitas (sebut saja suatu saat UI punya yayasan "Makara Foundation") dan kerjasama badan khusus pengkoordinir dana beasiswa departemen pemerintah, informasi akan tersalurkan seara lebih fokus. Peserta didik yang ingin masuk di PTN tertentu langusng berhubungan dengna pihak bersangkutan. Tidak menutup kemungkinan juga mencari sendiri lembaga swasta.(<span style="font-style: italic;">ingat problem 1</span>).<br /><br />Berikutnya revolusi kebijakan fiskal terfokus untuk memperbanyak jumlah penyedia <span style="font-style: italic;">scholarship. </span>Sasarannya jelas perusahaan-perusahaan besar. Apalagi melihat kenyataan banyak perusahaan besar yang menunggak pajak. Lebih baik memberikan mereka keringangan lewat kompensasi pendidikan.(<span style="font-style: italic;">ingat problem 2)</span>. Setidaknya ada 3 makna penting dari pola ini.<br /><br /><span class="fullpost"> <span style="font-style: italic;">Pertama</span>, perubahan paradigma dari meminta keringanan menjadi usaha mencari tambahan dana, hal ini juga mempersiapkan mahasiswa Indonesia bersekolah ke luar negeri. <span style="font-style: italic;">Kedua,</span> ada perubahan <span style="font-style: italic;">moral hazard</span>, keringanan BOP-B memang menyediakan biaya yang ringan tapi (tanpa mengurangi respek terhadap mahasiswa penerima BOP-B) hal ini tidak berpengaruh banyak pada motivasi mereka. Lewat beasiswa, mahasiswa kurang mampu justru terpau untuk belajar lebih giat yang menjadi <span style="font-style: italic;">human capital</span> tersendiri bagi mereka di masa depan.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Ketiga, </span>sistem ini membantu kemudahan transparansi keuangan universitas. Dana operasioanal dihitung seara tepat (sesuai proporsi yang boleh ditanggung peserta didik), lalu di bagi sejumlah kapasitas mahasiswa. Sehingga merek bisa memprediksi dengan baik kekurangan dana dan bisa fokus mengalokasikan dana untuk <span style="font-style: italic;">researh</span>. Sistem ini juga meningkatkan tingkat <span style="font-style: italic;">fairness</span> penerimaan mahasiswa. Tidak ada alasan mahasiswa diterima karena ia lebih "berduit" (lewat jalur tambahan diluar jalur resmi) daripada calon lain yang punya kompetensi lebih namun kemampuan finansial lemah, sebab dana operasional sudah diperhitungkan sebelumnya.<br /><br />Skema ini masih "jauh api dari panggang", tetapi bukan tidak mungkin. Semoga pendidikan Indonesia menjadi lebih baik.</span>kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-60576340251192536502009-08-24T19:54:00.000-07:002009-08-28T22:31:53.902-07:00BOP-B: Just an Ideas (part 1)<span style="font-style: italic;">Keywords: fixed tuition fee</span>, beasiswa, swasta, PTN, dan kebijakan fiskal,<br /><br />Apa yang coba diangkat sebenarnya merupakan sebuah skema pembiayaan. Pola yang selama ini didominasi oleh pemerintah sedikit berubah dengan memasukkan unsur swasta. Ide ini di mulai, setelah melihat betapa sistem BOP-B yang berbasis <span style="font-style: italic;">price discrimination </span>sering meninggalkan masalah. <span style="font-style: italic;">Assymetric information</span>, distorsi perilaku, dan "kebocoran" (karena tidak mampu menangkap <span style="font-style: italic;">willingness to pay</span> tiap individu). Sebuah inefisiensi atau dalam bahasa non-ekonominya terjadi ketidakadilan.<br /><br /><code><span class="fullpost"></code>Berangkat dari kondisi tersebut kigendeng justru cenderung menawarkan penghapusan BOP-B. Alternatifnya justru sebuah sistem <span style="font-style: italic;"><span style="font-style: italic;">fixed </span>tuition fee<span style="font-style: italic;"> </span></span>artinya seluruh biaya ditanggungkan ke peserta didik dengan besar biaya yang sama. Menutup kesempatan orang miskin? Di sinilah peran swasta dan pemerintah bertemu. "Keadilan" yang dituju dicapai lewat sebuah program beasiswa. Peserta didik yang merasa tidak mampu harus mencari beasiswa untuk membayar uang kuliah. Sedikit kejam? Poin utamanya adalah mengalihkan bentuk keringanan pendidikan menjadi beasiswa. <span style="font-style: italic;">Sebuah perubahan paradigma dari mengharap keringanan menjadi mencari tambahan pembiayaan</span>.<span class="fullpost"><br /><br />Sumber beasiswa diharapkan berasal dari 3 <span style="font-style: italic;">scholarship agent</span>. Pihak swasta (perusahaan), pemerintah, dan universitas. Lubang besar dari ide ini ada 2, yaitu sulitnya <span style="font-weight: bold;">akses informasi beasiswa</span> (<span style="font-style: italic;">problem 1)</span> dan <span style="font-weight: bold;">jumlah pendonor</span> (<span style="font-style: italic;">problem 2</span>) termasuk besar dana yang tersedia untuk beasiswa. Satu-persatu akan kita bahas.<br /><br />Dua problem itu dapat dipecahkan jika ketiga <span style="font-style: italic;">scholarship agent</span> berfungsi dengan optimal. Caranya, paling tidak ada 3 hal yang harus dilakukan:<br />1. <span style="font-weight: bold;">Yayasan Beasiswa PTN.</span>Pihak Universitas seharusnya memiiki satu yayasan tersendiri yang khusus menyediakan beasiswa bagi peserta didik.<br />2. <span style="font-weight: bold;">Beasiswa Departemen</span>.Tiap departemen kementerian harus memiliki alokasi dana beasiswa untuk tingkat perguruan tinggi. Selanjutnya dikoordinir oleh pemerintah dibawah Depdiknas agar dikelola <span style="font-style: italic;">database</span>-nya sehingga bisa disosialisasikan kepada PTN<br />3. <span style="font-weight: bold;">"Menjamurkan Beasiswa"</span>.Pemerintah membuat sebuah revolusi kebijakan fiskal dengan memberi keringanan pajak pada perusahaan yang mempunyai CSR berupa yayasan beasiswa atau pendidikan (sebab pada umumya <span style="font-style: italic;">scholarship foundation</span> lebih sering menjadi <span style="font-style: italic;">tax avoidance</span> alih-alih tanggung jawab sosial)<code></span></code></span>kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-89918285932651476832009-08-24T19:51:00.000-07:002009-08-24T19:52:23.500-07:00Gold Standard for Todays?Here's a cons opinion from Director of LPEM (Institute for Economics and Social Research), Dr. Arianto A. Patunru on <a href="http://patunru.blogspot.com/2009/08/gold-standard-now-no-way.html">his blog</a>kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-4954078012872517972009-08-23T20:08:00.000-07:002009-08-23T21:06:23.780-07:00Misleading Again<a href="http://korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/24/Opini/krn.20090824.174705.id.html">I reccomended you to see this article.</a><br />M. Bambang Pranowo, Professor of Religion-Sosiolog UIN Jakarta, wrote an artice "Virus Kapitalisme dalam Keberagaman". I quoted these interesting opinion:<br /><blockquote>"...Melihat kenaikan harga sandan-pangan menjelang dan di bulan puasa, bisa kita duga, puasa justru membuat orang makin konsumtif. Kenaikan harga pasar itu niscaya mengikuti hukum permintaan dan penawaran. Makin besar permintaannya, makin tinggi harganya. Ini indikasi, di bulan puasa, umat Islam makin konsumtif..."<br /></blockquote>Interesting, eh? He was so brave using supply-demand approach to took a conclusion that today's moslem are more consumptive (regarding many definition of "consumptive" terms). Is it true Moslem nowadays more consumptive just because price level is higher on Ramadhan? I doubt it. Economics told different. More possible way to explain why price level increase on Ramadhan is simply because reaction of supply side on anticipate decreasing expected demand. Suppy curve shifted to left because they know they will face decreasing demand on future. So it possible to see price level go higher than normal.<br /><br />I didn't come to say that my opinion is best explanation for this short-term inflation. Just want to sa that supply and demand works more complicated than Prof. Bambang state. Last, stop blame on capialism as a cause of people preferences and why people keep Heroin on Al-Quran.kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-52779149028029960742009-08-21T20:16:00.000-07:002009-08-21T20:40:31.384-07:00BOP-B: A Lemon Problems for Middle ClassBaru saja Prof. Der.Soz. Gumilar Soemantri dalam Kompas hari ini membuat klarifikasi bahwa BEM- UI tidak dibekukan. Tentu kita bingung kenapa muncul isu dibekukan? Kisruh ini dimulai dari ketegangan antara mahasiswa dan pihak rektorat yang masih belum jauh-jauh menyoal BOP (Biaya Operasional Pendidikan) Berkeadilan atau BOP-B<br /><br />Tidak perlu sampai membolak-balik <span style="font-style: italic;">theory of justice</span>-nya John Rawls, untuk melihat sisi adil mana yang sedang dipermasalahkan. Seharusnya BOP-B adalah price discrimination <span style="font-style: italic;">admission fee</span> yang harus ditanggung sebagai bentuk "adil" bagi kesempatan belajar. Terdengar indah, tetapi kenyataannya pihak mahasiswa mampu menunjukkan "ketidakadilan" dari data-data primer dan sekunder (yang menurut mereka bisa dipercaya). Benarkah orang miskin tidak mendapat keringanan? Ada kebocoran? atau yang paling sulit, bagaimana menentukan"keadilan"?<br /><br />Sedikit menengahi badai kisruh yang menyebalkan ini, kita coba pahami posisi kedua belah pihak. Saya yakin rektorat tidak akan men-<span style="font-style: italic;">charge </span>mahasiswa yang benar-benar miskin, taruhlah orang tuanya berada di bawah 1$ per hari dalam konsumsinya, dengan angka keterlaluan Rp.5.000.000 misalnya. Banyak bukti menunjukkan mereka mendapat kan BOP terendah yaitu Rp 100.000 per semester sebagai BOP. Masalahnya sekarang ada di <span style="font-style: italic;">middle class </span>ke atas. Anggapah termasuk <span style="font-style: italic;">lower middle class</span> .<br /><br />Masalah apa? George Akerlof menyebutnya <span style="font-style: italic;">Lemon Problems</span>. Banyak dimensi definisi untuk membahas teori ini. Namun, ide fundamentalnya terdapat pada <span style="font-style: italic;">assymetric information</span>. Hamir mirip dengan kasus asuransi, terdapat fenomena <span style="font-style: italic;">inside information</span>. Hanya sang mahasiswa yang tau kondisi sebenarnya keuangan keluarga mereka. Pihak rektorat tidak tahu jelas. Di sinilah keraguan dan ketidakpercayaan terjadi. Dalam <span style="font-style: italic;">middle class</span>, <span style="font-style: italic;">spread</span> dan distorsi pendapatan dan pengeluaran sangat jelas. Pihak rektorat sebagai pemberi keringanan dengan informasi terbatas dan desakan kebutuhan dan cenderung memasang <span style="font-style: italic;">admission fee </span>yang tinggi akibat ketidaksempurnaan informasi tadi. Hasilnya? "ketidakadilan" pada beberapa anggota golongan <span style="font-style: italic;">middle class</span> terutama dalam zona margin atau abu-abu.<br /><br />Bukan bermaksud melepas curiga adanya intransparansi rektorat dan birokrasi cacat yang masih mungkin terjadi dalam menciptakan <span style="font-style: italic;">failure. </span>Namun, sekedar menunjukkan sistem BOP-B punya beberapa kebocoran layaknya sistem <span style="font-style: italic;">price discrimination </span>lain dalam ekonomi. Dalam postingan selanjutnya, kigendeng akan coba memberi alternatif kebijakan yang dapat dipertimbangkan. <span style="font-style: italic;">See you on next posting</span>.kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-46313921073653924762009-08-10T20:55:00.000-07:002009-08-10T21:22:36.364-07:00Watchout Another Attack! Baby BoomA dramatic movies-like actions on Temanggung (starring: Densus 88), has ended. But it still left a question, who's really Mr-X in the house? Is it Noordin M. Top or else? But, some terrorism experts remind us too keep awake and believe that terror bomb didn't ended yet.<br /><br />I agree...but not in this particular case.<br /><br />I agree that "terror bomb" not ended yet. It is real. <span style="font-weight: bold;">The Baby Boom</span>. Based on demographic survey on 2007, member of KB (<span style="font-style: italic;">Keluarga Berencana</span>) just slightly increase from 60,3 % to 61,4 and a stagnan Total Fertility Rate (TFR) stuck on level 2,6 (per fertile age woman). We need approx 70% KB's member (Sugiri Syarief, 2008) and must allocate Rp 4 trillion (FYI on 2008 we just have Rp 2,1 trillion)<br /><br />For real, according to Aburidzal Bakrie, today's Indonesia people have reach<span style="line-height: 15px;"> 215 million people. People growth, was fantastic, more than 4 million (people) a year! Fear of baby boom part 2 (first baby boom appeared on 60's era)</span> seems realistic. For economic growth I could say it is a bad news. On APBN 2010, I can't see this demographic problem as a priority. But, the data give us early alarm for our government. Especially on 2010, it will be wise to pay attention not only on <span style="font-weight: bold;">Densus</span> result but also <a href="http://www.inilah.com/berita/ekonomi/2009/05/19/108244/bps-lakukan-sensus-penduduk-2010/">Census</a> result.kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-63418395479379730292009-08-09T07:48:00.000-07:002009-08-10T21:22:57.489-07:00Football and Fiscal (part 2)Goal.com try to list several reason, why players prefer to play in Spain not England. The third reason remind us on our <a href="http://memoarekonomi.blogspot.com/2009/02/liga-sepakbola-terbaik-di-dunia-sebuah.html">previous post</a> and <a href="http://memoarekonomi.blogspot.com/2009/07/why-ibra-move.html">this one</a><br /><blockquote>"...Sejak 2004 pemerintah Spanyol menerapkan skema pajak bagi pemain luar Spanyol yang diistilahkan ‘Law of Beckham’... Dalam aturan itu, pemain cukup membayar pajak sebesar 24 persen selama enam tahun pertama di Spanyol.<br />...Bila masih bermain di MU, gaji yang diterima Ronaldo sebesar €409.000 setelah dipotong pajak. Sebaliknya, di Madrid, gaji bersih yang diterima Ronaldo sebesar €562.500 atau lebih besar 37 persen.<br />Contoh lain, Klaas Jan Huntelaar yang menerima gaji bersih ₤55.000 per pekan di Madrid. Tottenham Hotspur yang berambisi memboyongnya ke White Hart Lane harus menaikkan gaji Huntelaar menjadi ₤90.000 per pekan karena striker Belanda ini menolak gaji bersih yang diterimanya lebih rendah di klub barunya..." <a href="https://www.goal.com/id-ID/news/2279/editorial/2009/08/07/1426881/fokus-mengapa-pemain-top-lebih-pilih-spanyol-daripada">see complete article</a><br /></blockquote>Gordon Brown must do something.kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-5369632069427923903.post-72539640261914614992009-08-04T17:51:00.001-07:002009-08-05T18:21:33.057-07:00Fasten Your Seatbelt? And You Go Drown With The PlaneI'm not telling about <span><a href="http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/11/14383756/cuasa.buruk.jenazah.pilot.dave.belum.bisa.dievakuasi"></a></span><span><a href="http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/11/14383756/cuasa.buruk.jenazah.pilot.dave.belum.bisa.dievakuasi">Merpati</a></span><span style="font-style: italic;"><a href="http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/11/14383756/cuasa.buruk.jenazah.pilot.dave.belum.bisa.dievakuasi"> </a></span><a href="http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/11/14383756/cuasa.buruk.jenazah.pilot.dave.belum.bisa.dievakuasi">Airplane accident<span></span></a> in Papua. I talk about an interesting article from Didik J. Rachbini (<span style="font-style: italic;">Kompas</span>, 4 August'09) about persuation to tighten our belt on 2010. He questioning that our APBN target seems too optimistic. Thus, he asked to prepare our self to be thrifty.<br /><br />I hope Didik didn't mean to ask people keep their money on the pocket and less consume. It was a suicide, even in economic crises. Here's the logic. You keep your money, producer get loss, then who paid the wages? The most dangerous arise if producer decide to lowering their output level. It means input "efficiency" or some "rationing". Okay, it simply to understand by looking our famous equation Y= C+ I + G +NX, consumption (C) muss keep going on positive trends. That what such a stimulus for, isn't it?<br /><br />So, it fair to ask people <span style="font-weight: bold;">keep spending their money</span>, wisely. Money are cheap now. We look interest rate as money price. Nowadays. BI as central bank looking continue their BI'rate cut off. (6,75% on July , since Early year Bi cut off interest rate for 225 bps, and <a href="http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/07/27/15384276/darmin.fokus.turunkan.suku.bunga.pinjaman.">Darmin Nasution as Senior Deputy of BI</a> promise to continue this trend. We need consumer confidence (to consume or to invest) than they save their penny.<br /><br />Update: Just announced this morning (5 August'09), BI rate fell to 6,50%)kigendengwarashttp://www.blogger.com/profile/01351331602351855319noreply@blogger.com2