Wednesday, February 25, 2009

Liga Sepakbola Terbaik di Dunia (sebuah tinjauan Insentif Fiskal)

Sepakbola modern bukan lagi permasalahan teknik, supporter, dan kebanggan klub belaka. Sepakbola sebagai sebuah industri yang bergerak sesuai prinsip-prinsip ekonomi. Mudah saja mengatakan Eropa sebagai kiblat sepakbola dunia saat ini. Klub-klub Eropa mengiming-imingi pemuda-pemuda bertalenta dari seluruh pelosok dunia untuk bermain di klub mereka. Persaingan yang menggelitik penulis untuk menjawab pertanyaan “siapakah yang akan menjadi liga sepakbola terbaik?”

Pertanyaan ini tidak akan dijawab dengan cara normal. Mari kita keluar sedikit dari pola pikir teknis ataupn kecintaan pada klub atau liga kesayangan masing-masing. Kita persempit ruang data kita dengan mengambil Italia, Spanyol, Belanda, Inggris Jerman sebagai perbandingan (keempat negara tadi tidak dapat disangkal lagi sebagai negara-negara Eropa dengan tradisi sepakbola yang kuat, tanpa maksud mengesampingkan liga-liga potensial seperti Perancis, Rusia, dll). Kemudian asumsikan liga terbaik adalah liga berisi klub-klub yang mampu menyedot pemain-pemain bintang sebanyak-banyaknya. Saatnya menggunakan common sense ekonomi kita. Seorang pesepakbola sejatinya merupakan homo economicus yang tergerak berdasarkan insentif (prinsip dasar ekonomi). Jika diibaratkan secara ekonomi kita dapatkan fungsi preferensi pemain (P) di sebuah klub/liga dapat kita tulis sebagai

P ( W)

sedangkan untuk fungsi preferensi pemain bintang (P*)

P *( W,t)

Artinya jika pemain biasa preferensinya hanya dipengaruhi gaji (W), maka preferensi pemain bintang di sebuah klub yang dipengaruhi dua faktor ekonomi yaitu, gaji (W) dan individual income tax rate (t), karena gaji yang tinggi akan tergerus pajak secara progresif pula. Sekarang asumsikan bahwa tiap klub di dunia punya purchasing power yang sama dan menghadapi budget constraint yang sama pula. Implikasinya, jika “Pipo” Inzaghi mau bergabung asalkan dibayar 40 juta dollar, maka baik Ajax , Manchester, dan Napoli bersedia membayar dengan jumlah tersebut. Lalu, apakah yang mempengaruhi pilihan sang pemain? Ya, pajak penghasilan yang harus dia tanggung. Sekarang, mari kita lihat tabel perbandingan dari sumber www.worldwide-tax.com di bawah ini: (asumsi tambahan, sulitnya mencari tingkat pajak untuk ekspatriat memaksa penulis menganggap income tax pribumi sama dengan ekspatriat)

Negara............ Individual Income Tax (progressive)
-----------------------------------------------------------------
Spain.........................................20-40%
Italy..........................................23-43%
England.....................................24-43%
Netherlands...............................0-52%
Germany...................................15-45%

Dengan mengambil patokan tax rate tertinggi maka sepatutnya Inzaghi lebih memilih bermain di Liga Spanyol (40%), dia tidak akan bermain di Liga German (43%) apalagi di di Liga Belanda (52%,) yang berarti memotong lebih dari setengah penghasilannya!

Melihat tabel di atas kita maka dapat diurutkan bahwa liga terbaik dunia adalah, liga Spanyol, liga Italia, liga Inggris, liga Jerman, dan terakhir liga Belanda. Liga Spanyol adalah yang terbaik, atau (karena hanya selisih 1-2%) dapat dikatakan liga spanyol, itali, dan Inggris adalah liga terbaik Eropa.Tentu dengan memakai logika liga terbaik adalah liga yang mampu menyedot pemain bintang sebanyak-banyaknya. Pemain bintang sebagai makhluk rasional tentu akan memilih tempat dengan pajak rendah. Lebih realistis, hipotesa ini mungkin dapat menjelaskan mengapa liga Belanda dan Liga Jerman mempunyai sedikit sekali pemain bintang (bergaji tinggi) padahal Belanda tiap tahunnya menghasilkan pemain-pemain muda berbakat. (mungkin bisa menjadi saran bagi pemerintah Belanda dan Jerman untuk memangkas pajak untuk mengembangkan liga mereka.

Tentu tulisan ini sama sekali bukanlah sebuah kesimpulan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Banyak sekali faktor-faktor baik ekonomi maupun non-ekonomi yang diasumsikan ceteris paribus. Tetapi sangat menarik melihat bagaimana adanya kemungkinan fiscal policy sebuah negara mempengaruhi dunia sepakbola.

Nb: Tidak ada tendensi apapun pada tulisan ini. Meskipun dalam tulisan ini Liga Spanyol adalah yang terbaik, penulis tetap dalam keyakinan teguh bahwa liga Italia adalah yang terbaik, dan klub terbaik tentu saja Juventus !

Read More ..

Wednesday, February 11, 2009

Sebuah Kritikan terhadap Diri Sendiri: Layakkah Saya Menjadi Ekonom

Empat jam berlalu begitu saja. Kejernihan dan kejeniusan pemikiran
Steven D. Levitt, menghipnotis sejenak pikiran ini . Freakonomics, luar biasa menyenangkan sekaligus menyentak intelektualitas yang tampaknya sedang pulas dibelai kesibukan kuliah, kepanitiaan, dan obrolan politik kampus yang ngalor-ngidul khas warung kopi. Levitt menyentil kesadaran saya sebagai seorang calon sarjana ekonomi, alias seorang ekonom. Kemampuannya mengolah data-data dan tools ilmu ekonomi, mampu menjelaskan banyak fenomena sosial hingga menunjukkan kausalitas hal-hal yang sebelumnya kita anggap tidak berhubungan.

Entah kenapa saya menjadi ragu apakah mampu suatu saat menjadi seorang ekonom. Seakan-akan semua isi buku teks dan non-teks ekonomi tak ubahnya pisau tumpul.Semangat ingin tahu sembunyi di lubang kemalasan yang dalam . Keberanian mengutak-atik teori-teori “ruang kelas” ke kehidupan nyata tenggelam di tengah tumpukan ketakutan akan “deadline” wisuda.

Masih banyak penyakit-penyakit yang menjangkiti tubuh ekonom saya. Masih ada “katarak” yang memburamkan mata . Masih ada “dahak”yang menyumpal tenggorokan untuk sekedar menyatakan pendapat. Kulit yang“kapalan” sehingga tidak peka lagi terhadap hembusan isu-isu ekonomi sehari-hari. Dengan kondisi “sakit-sakitan” ini, wajar keraguan makin kuat saja.

Entah apa atau siapa yang salah. Mudah saja menuduh sistem kurikulum kita yang menumpulkan mahasiswa. Mahasiswa menjadi tahanan pendidikan bukannya insan pendidikan yang kreatif dan intuitif. Tidak perduli apakah itu lecturing atau SCL, semua hanya label dan buang-buang anggaran pendidikan.Namun, bisa jadi semua justru karena faktor, yang para sosiolog bilang sebagai sindrom “kepribadian yang kerdil” yang jadi parasit di tubuh mahasiswa saya sekarang. Malas untuk maju, dan takut untuk belajar.

Penuh penyakit dan busuk, tapi setidaknya ini jadi bentuk penelanjangan diri yang jujur atas kehidupan yang sudah hampir dua tahun dijalani. Daripada harus menjadi hipokrit, dan terus menjalani hidup dengan bebal, hidup seperti yang digambarkan Kahlil Gibran dalam “daki bersepuh emas”. Yahh..berubah adalah jawaban paling tepat, selalu ada kesempatan kedua. Seperti kata om Rheinald Kasali, “…Sejauh apapun anda salah arah, segeralah berbalik…”. Untungnya, di sebuah ruang lt.1. Gedung Student Center, FEUI,
masih ada “kawah candradimuka” (bukan promosi), tempat merajut lagi mimpi saya menjadi ekonom. Tentu maksudnya ekonom “sungguhan”… bukan sekedar ekonom politis!

Read More ..