Thursday, March 12, 2009

Fiskal dan Sepakbola, keluhan dari Lyon



Kompas, Jumat, 13 Maret 2009 | 05:21 WIB

Presiden Klub Lyon Jean-Michel Aulas mengatakan, kegagalan klubnya juga harus menjadi tanggung jawab penyelenggara sepak bola di Perancis. Menurut dia, struktur sepak bola Perancis sangat tidak kuat. Klub Perancis juga kalah bersaing secara finansial dengan klub Eropa lainnya.

...Menurut Aulas, klub-klub Eropa di luar Perancis bisa maju karena didukung kebijakan pemerintah, seperti keringanan pembayaran pajak.

Sebuah bentuk kritik yang unik dari Aulas cukup menarik diperhatikan. Apalagi jika mengingat postingan sebelumnya dalam Liga Sepakbola Terbaik... yang mencoba melihat kemungkinan pengaruh kebijakan fiskal dalam sepakbola. Walaupun disadari Aulas dan penulis memandang dari perspektif yang sedikit berbeda, hal ini makin menguatkan adanya pengaruh kebijakan fiskal sebuah negara dalam perkembangan sepakbola mereka. Sebuah hipotesa yang masih kabur tapi cukup terbukti.

Read More ..

Sunday, March 8, 2009

Status Quo Hutan? Sebuah tinjauan teoritis* (part 2)

Masalah Penebangan Hutan

Lanjutan dari posting pertama, titik sepanjang FUPC inilah yang seharusnya menjadi dasar kebijakan pemerintah menentukan kebijakan kehutanan. Misal, Pemerintah menetapkan Qo dengan pertimbangan ekologis dan ekonomis yang dianggap optimum, karena seharusnya Qo adalah fungsi dari utilitas ekologis dan utilitas ekonomis , atau Qo (E, P)…….[1]. Qo dianggap memenuhi nila Po dan Eo tertentu yang sudah dipertimbangkan. Dari kesimpulan ini, kita ajukan sebuah persamaan,
Qo = QL…………….[2]
Dengan QL adalah legal logging atau jumlah HPH yang boleh terbit, implikasinya, QL, tidak lain adalah suatu jumlah yang ditentukan pemerintah atau Qo artinya kuantias pohon yang legal ditebang adalah sama dengan kuantitas optimum yang ditentukan pemerintah dengan mempertimbangkan trade-off utilitas ekologis dan ekonomis hutan (persamaan [1]). Sekarang, kita lihat persamaan berikut
QT = QL + QIL….…[3]
Lihat, bahwa QT adalah jumlah total seluruh pohon di hutan. Maka logis bila kita sebut bahwa QT terdiri dari QL (pohon yang boleh ditebang, legal logging) dan QIL, pohon yang tidak boleh ditebang (potensial illegal logging).
Lihat pula bahwa, QIL = QIL* + QILf……………[4]
Persamaan [4] ingin menunjukkan secara spesifik bahwa sebenarnya QIL sendiri adalah sebuah potensi, yang terdiri dari QIL* (jumlah illegal logging yang terjadi) dan QILf , yaitu jumlah pohon yang tidak boleh ditebang dan tetap tidak ditebang. Maka ada 2 kondisi yang mungkin terjadi. (1) QIL = QIL* , yang berarti illegal logging ekstrim (out of control) dan QIL = QILf, yang dapat dikatakan sebagai kondisi ideal karena kuota pohon diluar HPH tetap jumlahnya.
Sebelumnya kita mengetahui QL adalah sebuah titik optimum yang telah ditetapkan sesuai persamaan [1], sehingga apabila QIL dimanfaatkan, atau pada kasus illegal logging, terjadi Qo + (QIL atau QIL*) > Qo, maka QIL atau QIL*menjadi excessive (karena melebihi titik optimum (Qo) . Secara teoritis dapat digambarkan bentuk eksternalitas negatif dari excessive logging ini dengan:















Sesuai buku Economic for Public Sector (Joseph E. Stiglitz: 2000), kita ketahui kegiatan excessive termasuk illegal logging (yang terbukti sesuai persamaan [3] sebelumnya) akan menghasilkan eksternalitas negatif. Terlihat karena pada QL+(QIL atau QIL*) Marginal Social Cost lebih besar dari Marginal Private Benefit (MSC > MPB). Terjadi inefesiensi karena seharusnya titik efisien ada pada QL, tetapi di pasar terbentuk keseimbangan dengan QL+QIL*. Tentu saja banjir, kepunahan hayati, dan bencana alam menjadi ancaman (dari sisi ekologis) yang siap menanti

Teorema di atas tentu masih merupakan pemikiran mentah penulis yang terusik tentang permasalahan hutan. Dapat dilihat pada data statistik, betapa kerusakan hutan sudah mengkhawatirkan. Namun, pada dasarnya pemikiran mentah di atas ingin menyampaikan setidaknya tiga pesan penting. (1) Melalui analisa pada bagian Forest Dilemma, perlu dievaluasi apakah dalam penentuan HPH, pemerintah sudah menghitung trade-off antara utilitas ekologis dan ekonomis hutan, tentu perlu kerjasama intensif antara economist dan enviromentalist (dalam analisa AMDAL). (2) Reformasi birokrasi adalah hal mendesak dilakukan karena kausal utama “bocornya” HPH adalah suap dan sistem birokrasi bawah meja, (3) Perlu disinsentif ekonomi yang tepat untuk menyelesaikan sengketa hutan karena hutan bukan melulu masalah lingkungan tetapi sudah memasuki ranah ekonomi.

Read More ..

Status Quo Hutan? Sebuah tinjauan teoritis* (part 1)

Berawal dari sebuah tugas PBL di kampus FEUI , mengenai analisa kebijakan publik dalam kasus illegal logging di Riau (artikel MetroRiau ,“Pembalakan Liar Masih Menghantui”, 1 April 2008), terlintas dipikiran penulis mengenai sengketa hutan yang tampaknya tidak pernah berhenti. Sebagai homo economicus, apa yang dilakukan penulis adalah mencoba melihatnya dari sudut pandang tersendiri.

Forest Dilemma

Tarik-menarik fungsi hutan sangat menarik kita jadikan titik tolak untuk membahas sengketa hutan. Sekarang, mengadaptasi salah satu tools analisis ekonomi, kita akan coba melihat masalah ini in economics common sense. Asumsi awal kita adalah ada dua fungsi hutan (secara garis besar) yang menjadi trade-off dalm pemanfaatan hutan. Pertama, adalah fungsi eksternalitas positif hutan seperti menahan banjir, habitat satwa, dan sebagai “paru-paru” dunia, nantinya kita sebut sebagai utilitas ekologis (E) hutan. Pada sisi lain, hutan menyimpan potensi ekonomi yang terkandung pada kayu ataupun hasil hutan lain yang mendorong manusia “merusak” hutan, yang akan kita sebut utilitas ekonomis (P) hutan. Secara grafis, kita dapatkan hubungan E dan P sebagai berikut:















Grafik FUPC (Forest’s Utilities Possibility Curve) di atas menjelaskan adanya trade-off dalam pemanfaatan utilitas hutan. Apabila kita menggunakan hutan pada utilitas ekologis saja, E max atau P= 0, hal ini terjadi pada kasus hutan lindung. Sebaliknya, apabila E= 0, maka kita gunakan seluruh P atau E= 0 , mungkin terjadi apabila kita membabat suatu hutan habis entah demi kayu ataupun untuk membuka lahan pertanian. Pada kasus P*, adalah kasus umum sebuah hutan dimana kedua fungsi E maupun P diperebutkan. Apabila manusia ingin meningkatkan fungsi ekonomis (P*-->P**, P*>P**) maka lewat mekanisme penebangan kita dengan sendirinya mengurangi utilitas ekologis hutan (E*-->E**, E*< E**).

* Teroritis yang dimaksud tentu bukan teori ekonomi yang terbukti. Berasal dari pemikiran kigendengwaras (penulis) sendiri, sehingga bisa dikatakan ini merupakan sebuah jurnal mini dari sakit kepala memikirkan hutan yang dirasakan oleh kigendengwaras dan dirasa perlu dilampiaskan dalam suatu bentuk tulisan bergambar.

Read More ..