Sunday, March 8, 2009

Status Quo Hutan? Sebuah tinjauan teoritis* (part 2)

Masalah Penebangan Hutan

Lanjutan dari posting pertama, titik sepanjang FUPC inilah yang seharusnya menjadi dasar kebijakan pemerintah menentukan kebijakan kehutanan. Misal, Pemerintah menetapkan Qo dengan pertimbangan ekologis dan ekonomis yang dianggap optimum, karena seharusnya Qo adalah fungsi dari utilitas ekologis dan utilitas ekonomis , atau Qo (E, P)…….[1]. Qo dianggap memenuhi nila Po dan Eo tertentu yang sudah dipertimbangkan. Dari kesimpulan ini, kita ajukan sebuah persamaan,
Qo = QL…………….[2]
Dengan QL adalah legal logging atau jumlah HPH yang boleh terbit, implikasinya, QL, tidak lain adalah suatu jumlah yang ditentukan pemerintah atau Qo artinya kuantias pohon yang legal ditebang adalah sama dengan kuantitas optimum yang ditentukan pemerintah dengan mempertimbangkan trade-off utilitas ekologis dan ekonomis hutan (persamaan [1]). Sekarang, kita lihat persamaan berikut
QT = QL + QIL….…[3]
Lihat, bahwa QT adalah jumlah total seluruh pohon di hutan. Maka logis bila kita sebut bahwa QT terdiri dari QL (pohon yang boleh ditebang, legal logging) dan QIL, pohon yang tidak boleh ditebang (potensial illegal logging).
Lihat pula bahwa, QIL = QIL* + QILf……………[4]
Persamaan [4] ingin menunjukkan secara spesifik bahwa sebenarnya QIL sendiri adalah sebuah potensi, yang terdiri dari QIL* (jumlah illegal logging yang terjadi) dan QILf , yaitu jumlah pohon yang tidak boleh ditebang dan tetap tidak ditebang. Maka ada 2 kondisi yang mungkin terjadi. (1) QIL = QIL* , yang berarti illegal logging ekstrim (out of control) dan QIL = QILf, yang dapat dikatakan sebagai kondisi ideal karena kuota pohon diluar HPH tetap jumlahnya.
Sebelumnya kita mengetahui QL adalah sebuah titik optimum yang telah ditetapkan sesuai persamaan [1], sehingga apabila QIL dimanfaatkan, atau pada kasus illegal logging, terjadi Qo + (QIL atau QIL*) > Qo, maka QIL atau QIL*menjadi excessive (karena melebihi titik optimum (Qo) . Secara teoritis dapat digambarkan bentuk eksternalitas negatif dari excessive logging ini dengan:















Sesuai buku Economic for Public Sector (Joseph E. Stiglitz: 2000), kita ketahui kegiatan excessive termasuk illegal logging (yang terbukti sesuai persamaan [3] sebelumnya) akan menghasilkan eksternalitas negatif. Terlihat karena pada QL+(QIL atau QIL*) Marginal Social Cost lebih besar dari Marginal Private Benefit (MSC > MPB). Terjadi inefesiensi karena seharusnya titik efisien ada pada QL, tetapi di pasar terbentuk keseimbangan dengan QL+QIL*. Tentu saja banjir, kepunahan hayati, dan bencana alam menjadi ancaman (dari sisi ekologis) yang siap menanti

Teorema di atas tentu masih merupakan pemikiran mentah penulis yang terusik tentang permasalahan hutan. Dapat dilihat pada data statistik, betapa kerusakan hutan sudah mengkhawatirkan. Namun, pada dasarnya pemikiran mentah di atas ingin menyampaikan setidaknya tiga pesan penting. (1) Melalui analisa pada bagian Forest Dilemma, perlu dievaluasi apakah dalam penentuan HPH, pemerintah sudah menghitung trade-off antara utilitas ekologis dan ekonomis hutan, tentu perlu kerjasama intensif antara economist dan enviromentalist (dalam analisa AMDAL). (2) Reformasi birokrasi adalah hal mendesak dilakukan karena kausal utama “bocornya” HPH adalah suap dan sistem birokrasi bawah meja, (3) Perlu disinsentif ekonomi yang tepat untuk menyelesaikan sengketa hutan karena hutan bukan melulu masalah lingkungan tetapi sudah memasuki ranah ekonomi.

6 comments:

Jahen Fachrul Rezki said...

kalo gw memandang masalah illegal logging justru pada goverment failure nya sih seph..

alam hutan kita sangat berlimpah..dan karena itu membuat banyak orang terinsentif untuk menebang hutan..terlebih lagi ketidak mampuan pemerintah untuk membuat sebuah kebijakan yang membatasi penebangan hutan..

mungkin gak nyambung..tapi korupsi menjadi alasan utama maraknya illog...sebuah data terbaru menunjukkan tingkat korupsi suatu negara berhubungan positif dengan tingkat korupsinya

kigendengwaras said...

Justru itu kebijakan pebnebangan hutan, harusnya bisa lebih menggunakan pendekatan ekonomi (sekaligus ekologi) sehingga jelas "kebijakan hutan" yang efektif baik dari sisi ekologi ataupun ekonomi..

Ya..suap juga jadi sumber utama karena pengelolaan HPH kacau...makanya disaranin ada reformasi birokrasi kaya di bea cukai (walau masih lahan basah, tapi udah agak berkurang).

Archie said...

Ya inti dari tulisan ini adalah bagaimana menjaga jumlah pohon yang ditebang tetap pada jumlahnya yang optimal (Qo).

Akan tetapi variable yang bisa dikontrol kan cuma QL sehingga diharapkan jumlah Qo sama dengan jumlahn QL. Nah yang mnejadi masalalah kan QIL*.

Ya ini masalah korupsi dan institusi...Dengan law enforcement yang lebih baik jumlah QIL* akan bisa dikontrol.

Archie said...

btw gak salah anak 2007 diwajibkan ambil konsentrasi esdal, ada bakat nih..! he he he he

kigendengwaras said...

woiii om...anak 2007 blom pasti wajib Esdal!
tapi ga papa siapa tau bisa kaya pak Emil Salim, hehe..

Menjaga QIL* itu emang susah tapi sebenernaya sama penting ny dengan menjaga Qo...

Alamsyah said...

menarik..nice post!!persamaan matematik lo oke banget!!

gw ada sdikit tanggepan..menurut gw, kayaknya perlu memasukkan variabel lain, sebagai bahan buat menghitung opportunity costnya, supaya memudahkan analisa cost-benefit..

yaitu memasukkan persamaan yang menghubungkan permintaan kayu jadi(artinya hutan ditebang)(Qf*), dgn permintaan hutan tidak ditebang (Qf)(karena di masa yang akan datang, Eropa ama AS akan minta Indonesia buat menjaga hutannya demi paru2 dunia, yang mana mereka mau bayar Indonesia demi itu)..

menurut gw, model matematis lo perlu mencantumin hal ini..dengan kata lain, variabel Qilf akan ikut berubah..menurut gw persamaan lo perlu dimasukin persamaan lagrange-nya, subject to (Qf,Qf*)

tapi ini masih analisa kasar sih..banyak kekurangan juga..