Thursday, October 22, 2009

“Bagaimana Ekonomi Bekerja di Kehidupan Sehari-Hari”

Setelah termenung sekitar dua puluh menit, tampaknya tidak ada kata-kata yang lebih baik untuk menggambarkan seluruh isi tulisan singkat ini selain judul tulisan di atas. Kata-kata itu pula yang dirasa paling pas menggambarkan isi, makna, tujuan, dan insentif saya menulis blog “memoarekonomi.blogspot.com”. Sebagai mahasiswa fakultas ekonomi, sungguh tidak adil rasanya menyimpan sendiri betapa menyenangkannya ekonomi itu. Banyak sisi-sisi yang hampir tidak tergali oleh apa yang mungkin orang awam pahami. Namun, sebelum bicara lebih jauh satu pertanyaan yang terlintas adalah bagaimana saya membagikannya? Setelah mengeliminasi beberapa opsi-opsi konyol, pilihan jatuh pada blog. Alasannya cukup sederhana, blog menjangkau seluruh orang di dunia, asalakan komputer atau laptop mereka terkoneksi tentunya. Kita bebas menuliskan pendapat dan bebas memberikan komentar. Hal ini baik sekali untuk memicu diskusi-diskusi dengan perspektif yang beragam.

Dunia ekonomi sungguh menyenangkan. Itulah kira-kira pesan utama blog ini. Selama ini masyarakat awam hanya mengetahui ekonomi sebagai sesuatu yang kaku dan tidak jauh-jauh dari uang. Pendapat yang separuhnya benar, tapi separuhnya salah. Ekonomi justru lebaih jauh lagi daripada uang. Betapa prinsip-prinsip ekonomi justru dapat menjelaskan menagapa seseorang bertindak, atau dalam skala besar mengapa sebuah negara mengambil kebijakan. Mungkin sebagian dari kita sudah pernah membaca Freakonomics kataya Steven Levitt (bagi yang belum sebaiknya segera membeli buku ini). Levitt berhasil membawa pesan lain dari ilmu ekonomi, dia berhasil meyakinkan bahwa manusialah obejk utama ilmu ini. Secara bawah sadar kita bertindak sesuai suatu mekanisme yang tak terlihat. Motif-motif yang selama ini terselubung, secara iseng diselidiki oleh ekonom-ekonom untuk sekedar iseng atau tujuan yang lebih jauh. Sejalan dengan Levitt, blog “Memoar Ekonomi” menghadirkan sebuah perspektif yang berusahan mendekatkan dunia nyata dengan ilmu-ilmu ruang kelas.

Topik-topik usil seperti, Mengapa Zlatan Ibrahimovic pindah ke Barcelona? Bagaimanakah judul lagu menggambarkan prinsip-prinsip ekonomi? Hingga topik sedikit berbobot seperti supply and demand, apakah hutang itu baik? Mengapa impor gula masih diperlukan? Dibahas dengan tentunya keterbatasan seorang mahasiswatingkat strata satu (S1). Bagaimanapun juga, lewat blog ini, pembaca diajak “menggaruk” isu-isu yang beredar dari perspektif ekonomi. Pesan moralnya adalah kehidupan kita tidak terlepas aspek ekonomi, tentu bukan soal uang dan profit semata.

Pemuda seusia kita memang seharusnya lebih berani mengemukakan pendapat. Jangan takut sok tahu. Iya, mungkin ekonom-ekonom bergelar doktorakan tertawa kecil saja melihat tulisan-tulisan ngawur khas mahasiswa lewat blog ini (kita). Namun saya yakin bukan itu ide utamanya. Keberanian berperndapat dan berkontribusi lebih bagi orang lainlah yang utama. Blog ini memang berusaha mengisi ruang berpikir kita dari sisi ekonomi tapi tentu banyak blog lain yang bisa memperkaya rasa ingin tahu dan kapasitas intelektual kita. Justru sangat beruntung generasi inimemiliki media yang dengan murah dan cepat membagi pengalaman dan pengetahuan kita. Semoga blog –blog di Indonesia dapat menjadi “kopi” yang selalu membangunkan intelektualiras pembacanya. Keep blogging!

Read More ..

Monday, October 19, 2009

SBY's Appetite

Indonesia masih menunggu "peluncuran" Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II setelah pidato pelantikan baru saja berlangsung. Isu paling seksi tetaplah pos-pos ekonomi. Setidaknya ada dua pos penting Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian

Sri Mulyani memberikan harapan akan konsistensi kebijakan yang selama ini mampu, setidaknya mengangkat Indonesia dari krisis, walaupun di sisi lain merupakan berita buruk bagi pengusaha bandel yang berharap akan kelonggaran pajak. Menteri Keuangan relatif aman kritik, tapi bagaimana dengan Menko Perekonomian?

Sulit menduga Hatta Rajasa terpilih dari sekian banyak opsi ahli-ahli "murni" ekonomi. Agak sulit menerka-nerka apa alasan kuat SBY memilih beliau. Isu "anak emas" sudah menempel pada Hatta Rajasa, melihat kesetiaannya mendampingi SBY sejak tahun 2004.

Bukan bermaksud membela, tetapi masih ada sedikit benang merah yang cukup rasional dalam kasus ini. Sejak awal ada indikasi bahwa Boediono sebagai wapres akan punya porsi besar dalam pengambilan kebijakan ekonomi. Melihat hal tersebut ada satu hal penting yang selalu didengungkan oleh Boediono, soal infrastruktur (baca posting sebelumnya).

Di sinilah celah benang merah tersebut. Hatta Rajasa sudah memimpin Departemen Perhubungam dari tahum 2004 - 2007. Tentu 4 tahun tersebut merupakan waktu yang cukup untuk mengenal tantangan sistem perhubungan kita. Selama ini sistem transportasi ditufing (bahkan oleh Boediono) sebagai sumber high-cost economy yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam hal ini, termasuk dalam pengembangan potensi daerah dan pengentasan inequality pusat-daerah.

Justru posisi Hatta akan sengaja dispesialisasikan untuk menyelesaikan masalah tersebut lewat pos yang lebih sentral yaitu Menko Perekonomian. Dengan bekal pengalaman masa lalu Hatta Rajasa bisa melakukan analisa mendalam dan mengambil kebijakan yang tepat untuk solusi ini. Sedangkan masalah perekonomian yang lain ditangani Boediono. Ujungnya, sebenarnya di departemen koordinasi Perekonomian terdapat duumvirate leader (dwitunggal kepemimpinan) yang tidak tampak. Duet pemimpin inilah yang mungkin diharapkan saling melengkapi

Tentu ini sekedar analisa dan murni opini. Hanya SBY yang tahu tujuan teknis-politis dalam penujukkan ini. Yang patut diingat, setidaknya ada 2 hal penting dari sisi ekonomi. Pertama, SBY harus bisa meyakinkan pasar bahwa pilihannya tepat, sebab ketidakpercayaan pasar sangat mengganggu stabilitas yang selama ini menjadi citra pemerintahan SBY. Kedua, SBY dan kabinet barunya di bidang ekonomi bisa melakukan program sinergis antar-departemen lewat perncanaan jangka panjang, idealnya lebih dari sekedar agenda 5 tahunan.

Read More ..

Blogging Economist Generation

Dalam ilmu ekonomi tentu kita mengenal pentingnya information. Bahkan, informasi asimetrik merupakan salah satu penyebab kegagalan pasar yng amat dikenal. kekuatan informasi inilah yang juga menjadi obyek kajian menarik dalam menimbang kembali berbagai konsep mulai pasar bebas, laissez faire, hingga mitos kaptalisme. Tetapi kita akan sedikit rileks dan menaruh sejenak topik-topik berat tadi ke kantung pikiran kita. Yang ingin kita bahas di sini merupakan kasus simpel, bagaimana informasi benar-benar menyebar ke seluruh dunia dan berhasil menjadi kekuatan yang benar-benar 'invisible hand' menggerakkan masyarakat banyak. Tersangka utamanya jelas internet.

Internet memangkas biaya pengiriman pos surat dalam beberapa detik dengann sedikit bunyi 'klik' sesekali. Informasi benar-benar tumpah. Thomas Friedman dalam The World is Flat menyamakan kehadiran internet setara runtuhnya tembok berlin. Sebuah kebebasan yang tak terduga membanjiri seluruh dunia. Termasuk blog.

Blog bukan sekedar diari-diari pribadi atau website pribadi. Terkait dengan apa yang kita bahas, blog merupakan contoh kekuatan informasi. Sungguh tidak terbayangkan orang begitu mudah menyampaikan ide, berdiskusi, atau sekedar narsis di depan jutaan masyarakat dunia. Tanpa border negara, suku, ras, dan budaya. Tentu tidak sepenuhnya masih ada border bernama biaya kan?

Namun, lebih menarik lagi bahwa jika kita sadari pengguna blog bukanlah sekedar orang-oprang iseng. Terlebih dalam bidang ilmu ekonomi, sungguh fantastis melihat pemikiran-pemikiran brilian sekelas Prof. Greg Mankiw, Peraih Nobel Paul Krugman, hingga si nyeleneh Steven Levitt tumpah ruah dalam blog-blog pribadi mereka. Ekonom-ekonom sekelas mereka dapat dengan cepat menanggapi fenomena-fenomena yang terjadi sehari-hari. Tanpa erlu repot mencari jurnal-jurnal mereka (yang tentu memungut waktu dan biaya) dengan blog kita dengan mudah melihat bagaimana mereka melihat dunia dibalik kacamata economics mereka. Intinya adalah arus ide yang cepat ditanggapi masyarakat. Tentu tak bisa dibayangkan seorang dari Merauke bisa menaggapi tulisan Professor dari Harvard hanya lewat blog.

Begitu pula dengan blog ini, walaupun masih muda dan asal-asal saja, spirit yang sama tetap dibawa. Membawa ide-ide segar tanpa takut kehadapan masyarakat luas yang terbuka. Betapa baif dan sok tahunya tulisan-tulisan ini bukan problem utama. Toh, jika jelek lupakan saja atau caci maki saja. Yang jelas generasi baru sudah muncul. Lewat blog seharusnya ekonom-ekonom muda (mahasiswa dan pelajar) kita berani mengeluarkan pendapat sekedar memberi sumbangsih bagi iklim diskusi yang mulai dimonopoli sepakbola, politij, hingga Miyabi.

Tentu pandangan ini tidak tertutup bagi pemikiran-pemikiran lain di luar ekonomi. Idenya jelas jadikan blog sarana kita untuk berkembang dan biarkan dunia tahu celotehan kita. Selamat blogging teman!

Read More ..

Sunday, October 18, 2009

Charter Cities: Radical Concept for Development

Ada sebuah pertanyaan besar dalam ekonomi pembangunan (economics development). Apakah negara-negara maju dapat berperan dalam membantu perkembangan negara -negara berkembang? Sebagian besar dari kita akan berkutat dengan sinisme dan bayang-bayang imperialisme modal asing ataupun segera mmembayangkan liberalisasi ala IMF dan lain-lainnya. tetapi Paul Romer (ekonom Stanford University) menjawab "bisa" dengan cara yang lain. Konsepnya cukup radikal, mengembangkan sebuah charter cities". Mengapa kota?

Inspirasi datang dari Hongkong. Sebuah kota dengan perekonomian termaju di China. Dan, ada satu fakta yang kurang diperhatikan, kota itu dibentuk dalam suatu kondisi unik. Kepemilikan bersama Inggris dan China. Benar, bahwa banyak konflik dan perang fisik dalam pengembalian secara utuh ke negeri China Yang menjadi poin penting adalah bagaimana kota itu tumbuh dengan iklim perdagangan terbuka ala "barat, tetapi harus berada dalam kontrol ketat ala sosialis China. Hasilnya, Hongkong menjadi suatu kota yang modern, mampu menarik investasi, dan tetap mempertahankan kesejahteraan rakyat China.

Di sinilah ide Romer bermula. Jika negara maju mau menciptakan suatu bentuk pemerintahan kota bersama yang memberdayakan penduduk negara berkembang, maka penduduk di negara berkembang mempunyai banyak pilihan. Indonesia misalnya, bisa bekerja sama dengan Australia dan menetapkan suatu kawasan kosong, mungkin di Australia ataupun di Indonesia dan menciptakan suatu kota berdasarkan charter. Di kota ini penduduk Indonesia tetap berada dalam payung hukum Indonesia. Hal ini termasuk mekanisme paja, yaitu penerimaan pajak penduduk dengan kewarganegaraan Indonesia tetap masuk ke APBN. Australia mendapat kesempatan meluaskan pasar industri mereka yang hampir mentok akhir-akhir ini. Dengan iklim investasi mudah maka pihak asing lain dapat dengan mudah menanamkan saham. Dan terpenting terjadi spill over teknologi dan modal, mengingat modal dan teknologi masih menjadi missing factors dalam proses industrialisasi Indonesia (tipikal negara berkembang).

Konsep ini masih mentah dan sedikit radikal. Menmbayangkan proses kerjasama bilateral hingga pemerintahan kota bersama terlihat tidak feasible tetapi bukan tidak mungkin dilakukan.
Just an idea,

Read More ..

Tuesday, October 13, 2009

Nobel Leaurate 2010

And the unpredictable one goes to...


see full story

Read More ..

Tuesday, October 6, 2009

HDI Repor t Update:

Newest release from UNDP, Human Development Index. World still polarized between Scandinavian and African.

Read More ..

Big Mac Index: An Alternative

Read More ..

Sunday, October 4, 2009

Do We Need Axioms?

The title above is quite clear enough to understand. For many student on economics, especially who are taking advance micro economics shall frustating why they need so many axiom just to explain a demand (or supply) curve? It is true, necessary?

I got a good explaination from Prof. Iwan Jaya Azis, Cornell Unversity, when he though about General Equilibrium, as written on his article 'Antara Teori dan Intuisi' (between theory and intuition). One day a student of his class questioning why he must learn Debreu axioms. Let me sum up their conversation:

Student (S) : I think a simple economic model is quiet enough to explain our daily economic phenomena.
Iwan J. Azis (A): What do you mean about "daily economic phenomena"?
(S) : Suppose that US government canceled such a tariff import policy on clothing from Asia. It easily predicted that cloth price will fall, since increasing on supply (caused by import flow). I just use demand-supply model without confusing on axioms, right?
(A) : How?
(S) : It simply because demand curve has negative slope.
(A) : Who said that? Since you accept a postulate that demand curve has negative slope and supply has positive slope, you are using some assumption. For example, cloth is a commodity that its substitution effect is less than income effect, so consumen behaviour is normal. It implies you assumed that cloth definetly not a giffen goods?
(S) : Yes, I am
(A) :So, what kind of assumption we need to draw an indifference curve for this case?
(S) : Curve must be convex, continous, and has monotonicity
(A) : You just already said Debreu axioms.

Read More ..