Empat jam berlalu begitu saja. Kejernihan dan kejeniusan pemikiran
Steven D. Levitt, menghipnotis sejenak pikiran ini . Freakonomics, luar biasa menyenangkan sekaligus menyentak intelektualitas yang tampaknya sedang pulas dibelai kesibukan kuliah, kepanitiaan, dan obrolan politik kampus yang ngalor-ngidul khas warung kopi. Levitt menyentil kesadaran saya sebagai seorang calon sarjana ekonomi, alias seorang ekonom. Kemampuannya mengolah data-data dan tools ilmu ekonomi, mampu menjelaskan banyak fenomena sosial hingga menunjukkan kausalitas hal-hal yang sebelumnya kita anggap tidak berhubungan.
Entah kenapa saya menjadi ragu apakah mampu suatu saat menjadi seorang ekonom. Seakan-akan semua isi buku teks dan non-teks ekonomi tak ubahnya pisau tumpul.Semangat ingin tahu sembunyi di lubang kemalasan yang dalam . Keberanian mengutak-atik teori-teori “ruang kelas” ke kehidupan nyata tenggelam di tengah tumpukan ketakutan akan “deadline” wisuda.
Masih banyak penyakit-penyakit yang menjangkiti tubuh ekonom saya. Masih ada “katarak” yang memburamkan mata . Masih ada “dahak”yang menyumpal tenggorokan untuk sekedar menyatakan pendapat. Kulit yang“kapalan” sehingga tidak peka lagi terhadap hembusan isu-isu ekonomi sehari-hari. Dengan kondisi “sakit-sakitan” ini, wajar keraguan makin kuat saja.
Entah apa atau siapa yang salah. Mudah saja menuduh sistem kurikulum kita yang menumpulkan mahasiswa. Mahasiswa menjadi tahanan pendidikan bukannya insan pendidikan yang kreatif dan intuitif. Tidak perduli apakah itu lecturing atau SCL, semua hanya label dan buang-buang anggaran pendidikan.Namun, bisa jadi semua justru karena faktor, yang para sosiolog bilang sebagai sindrom “kepribadian yang kerdil” yang jadi parasit di tubuh mahasiswa saya sekarang. Malas untuk maju, dan takut untuk belajar.
Penuh penyakit dan busuk, tapi setidaknya ini jadi bentuk penelanjangan diri yang jujur atas kehidupan yang sudah hampir dua tahun dijalani. Daripada harus menjadi hipokrit, dan terus menjalani hidup dengan bebal, hidup seperti yang digambarkan Kahlil Gibran dalam “daki bersepuh emas”. Yahh..berubah adalah jawaban paling tepat, selalu ada kesempatan kedua. Seperti kata om Rheinald Kasali, “…Sejauh apapun anda salah arah, segeralah berbalik…”. Untungnya, di sebuah ruang lt.1. Gedung Student Center, FEUI,
masih ada “kawah candradimuka” (bukan promosi), tempat merajut lagi mimpi saya menjadi ekonom. Tentu maksudnya ekonom “sungguhan”… bukan sekedar ekonom politis!
Steven D. Levitt, menghipnotis sejenak pikiran ini . Freakonomics, luar biasa menyenangkan sekaligus menyentak intelektualitas yang tampaknya sedang pulas dibelai kesibukan kuliah, kepanitiaan, dan obrolan politik kampus yang ngalor-ngidul khas warung kopi. Levitt menyentil kesadaran saya sebagai seorang calon sarjana ekonomi, alias seorang ekonom. Kemampuannya mengolah data-data dan tools ilmu ekonomi, mampu menjelaskan banyak fenomena sosial hingga menunjukkan kausalitas hal-hal yang sebelumnya kita anggap tidak berhubungan.
Entah kenapa saya menjadi ragu apakah mampu suatu saat menjadi seorang ekonom. Seakan-akan semua isi buku teks dan non-teks ekonomi tak ubahnya pisau tumpul.Semangat ingin tahu sembunyi di lubang kemalasan yang dalam . Keberanian mengutak-atik teori-teori “ruang kelas” ke kehidupan nyata tenggelam di tengah tumpukan ketakutan akan “deadline” wisuda.
Masih banyak penyakit-penyakit yang menjangkiti tubuh ekonom saya. Masih ada “katarak” yang memburamkan mata . Masih ada “dahak”yang menyumpal tenggorokan untuk sekedar menyatakan pendapat. Kulit yang“kapalan” sehingga tidak peka lagi terhadap hembusan isu-isu ekonomi sehari-hari. Dengan kondisi “sakit-sakitan” ini, wajar keraguan makin kuat saja.
Entah apa atau siapa yang salah. Mudah saja menuduh sistem kurikulum kita yang menumpulkan mahasiswa. Mahasiswa menjadi tahanan pendidikan bukannya insan pendidikan yang kreatif dan intuitif. Tidak perduli apakah itu lecturing atau SCL, semua hanya label dan buang-buang anggaran pendidikan.Namun, bisa jadi semua justru karena faktor, yang para sosiolog bilang sebagai sindrom “kepribadian yang kerdil” yang jadi parasit di tubuh mahasiswa saya sekarang. Malas untuk maju, dan takut untuk belajar.
Penuh penyakit dan busuk, tapi setidaknya ini jadi bentuk penelanjangan diri yang jujur atas kehidupan yang sudah hampir dua tahun dijalani. Daripada harus menjadi hipokrit, dan terus menjalani hidup dengan bebal, hidup seperti yang digambarkan Kahlil Gibran dalam “daki bersepuh emas”. Yahh..berubah adalah jawaban paling tepat, selalu ada kesempatan kedua. Seperti kata om Rheinald Kasali, “…Sejauh apapun anda salah arah, segeralah berbalik…”. Untungnya, di sebuah ruang lt.1. Gedung Student Center, FEUI,
masih ada “kawah candradimuka” (bukan promosi), tempat merajut lagi mimpi saya menjadi ekonom. Tentu maksudnya ekonom “sungguhan”… bukan sekedar ekonom politis!
No comments:
Post a Comment