just click on the picture to enlarge it
This photo is taken from http://blogs.ft.com/undercover/
Jika tidak salah sering dikatakan konsumsi junk food akan menurunkan kualitas seseorang karena dianggap tidak bergizi. Tapi dengan poster diatas jangan-jangan konsumsi junk food meningkat seiring peningkatan nilai akademis secara keseluruhan di sekolah-sekolah. :-)
Atau coba ada tempat rental Play Station (PS) yang membuat diskon bagi anak-anak yang punya nilai rapor bagus. Menguntungkan buat perental PS yang selam ini debenci orang tua, dan Orang Tua mulai bisa memahami keberadaan rental PS. "just fun insight"
Yes, our textbook say: People Respond to Incentives, behavior changes when costs or benefits change
Saturday, June 27, 2009
Principle of economics: Incentive !
Friday, June 19, 2009
Transfer Saga: Media Blow or Real ?
when the Undercover Economist (Tim Harford) talk about mega-transfer:
Which was football’s biggest transfer fee?
Another learning from introductory economics: between nominal and real value
Debt: Opportunity or Trap? Or Who Must take The Blame?
Baru saja mengikuti diskusi menarik (KANTIN IE), menyoal utang negara "apakah menguntungkan atau merugikan". Tiba-tiba saja moderator menunjuk ke arah seorang pemuda canggung yang baru datang. Mukanya jelas tampak tidak siap, sementara sebelumnya perdebatan melibatkan data, statistik, rasio, dan istilah-istilah macam "LOI", "agenda asing", IMF, "kepentingan Barat", tinggallah pemuda itu kebingungan. Alih-alih berpendapat ia malah bercerita:
" Ada seorang tukang nasgor (nasi goreng) miskin yang selama ini berjualan di pinggir jalan dengan modal seadanya. Gubuk sederhana, sebuah kompor minyak tua, dan topi penahan terik matahari. Suatu saat sahabat kita ingin menambah modal (baca: utang) pada temannya yang cukup kaya. Temannya bersedia, jumlah 3 juta bukan masalah besar . Namun, sang sahabat tukang nasgor ini mengajukan syarat bahwa ia harus mengganti kompor minyak tua dengan kompor gas ber-LPG.
Menurut sahabat kaya kita ini LPG membuat masakan cepat matang dan intinya lebih efisien, ia menjelaskan bahwa di rumahnya dengan kompor gas, masakan sejenis tersaji lebih cepat dan lebih baik , eh maaf, lebih banyak. Teman kita tukang nasgor ini menyanggupi dan tampak puas. Singkatnya uang dipinjam dan segera ia mengganti kompor tuanya dengan kompor gas. Tak lama berselang tersiar kabar tukang nasgor itu terkena musibah, kompor gasnya meledak. Rupanya ia tidak terlalu paham penggunaan dan perawatan gas LPG. Dengan latar gubuk yang tinggal sisa-sisa, tukang nasgor merenung..."
Siapakah yang harus disalahkan?
Menurut Anda? Read More ..
Thursday, June 11, 2009
Lebih Tinggi = Lebih Bahagia = Lebih Sejahtera
Pusing memilih Capres? Kalau begitu Anda sama dengan saya. Sulit menentukan mana program ekonomi yang paling baik. Ada yang mengukur kesukesan lewat dua digit economic growth, ada yang kukuh menjadikan "kemandirian" bangsa sebagai tujuan utama. Dan tak ketinggalan capres yang sibuk mencari "jalan-tengah".
Tentu kita kesampingkan sentimen ras dalam penelitian ini. Maka, jika penelitian ini benar, seharusnya ada capres yang menargetkan "pertumbuhan" lebih baik dengan memperbaiki gizi masyarakat Indonesia sehingga memiliki postur lebih baik dan sesuai referensi penelitian hidup lebih bahagia, lebih sedikit stres, worry, kesedihan, dan peluang pendapatan per kapita yang lebih baik. Mungkin dapat disimpulkan oleh judul tulisan di atas. Korelasi yang unik memang, tapi tidak ada salahnya diigaukan.
ps: mungkin program kerja yang sedikit mendekati ada pada capres nomor 1 yang punya perhatian pada "susu". :)
Young Economist (like me) Must Know
This is a list of 100 Wonderful Place that may make you love economics or may be an escape rope when you stuck on learning economics...
Just Click and Enjoy!
Special thanks for Arianto A. Patunru, my FEUI lecturer, who share these links via facebook.
Monday, June 8, 2009
Pendidikan? Proteksi?
Komentar salah satu tim sukses Capres (JK-Win), Saleh Husein:
Sistem pendidikan nasional saat ini juga menghadapi persaingan dengan lembaga pendidikan asing yang sudah merambah masuk ke dalam negeri. Ini sebagai akibat dari pasar bebas dan belum adanya pembelaan yang jelas dari pemerintah terhadap lembaga pendidikan nasional. baca artikel lengkapnyaPendidikan dianggap mahal dan pemerintah dianggap tidak mampu membagi "kue secara adil" Lucunya sekarang pemerintah ketakutan melihat penetrasi lembaga pendidikan asing di dunia pendidikan nasional yang "ngantuk". Istilah pendidikan nasional menjadi absurd. Adakah bedannya pendidikan nasional dan "internasional"? Bukankah soal kualitas? Namun, tampaknya isu bergeser mengatakan pendidikan nasional harus bermuatan budaya nasional.
Tentu hal ini tidak salah, melestarikan budaya lewat pendidikan bertujuan baik, apalagi ditengah sibuknya kita mempertahankan budaya yang ramai-ramai "dicuri" orang. Masalahnya benarkah itu tujuan dan alasan tepat menghalangi transfer ilmu yang lebih baik dari "luar" (ironis melihat banyaknya tuntutan agar pemerintah mempermudah link beasiswa ke luar negeri)
Apapun itu pasar bebas sekali lagi menjadi pelaku dan korban. Bahkan sampai-sampai pendidikan nasional perlu diproteksi. Padahal logikanya pendidikan asing yang dikenal mahal, jika masyarakatIndonesia makhluk rasional tentu mereka akan memilih pendidikan nasional yang relatif murah. Sebenarnya apa yang "dilindungi? Keterjangkauan pendidikan atau kualitas buruk pendidikan nasional yang "malas" bersaing? Ya anggap saja ini kesesatan pikir yang biasa dalam hiruk-pikuk kampanye...
Read More ..
Monday, June 1, 2009
Neo-liberalisme dan Jilbab
Melihat politik kampanye bangsa Indonesia, adalah cermin kondisi sosial masyarakat kita. Tiba-tiba saja masyarakat Indonesia alergi dengan neo-liberalisme (entah mereka paham atau tidak), tiba-tiba salah satu istri capres tampil ke depan publik menggunakan kain sebagai penutup kepalanya. Yang ada adalah kekikukan dan latah pada masyarakat dan politisi kita. Lalu, mengapa harus Neo-Liberalisme dan Jilbab?
Sederhana, ekonomi dan agama. Memang pada urusan perut dan akhirat lah hampir seluruh hidup manusia termaknai. Tidak heran isu ekonomi dan agama masih efektif dalam mempengaruhi (menakut-nakuti?) masyarakat Indonesia. Neo-Liberalisme itu jahat, tidak berjilab itu neraka. Kekanak-kanakan? Mungkin, tapi itulah kenyataan masyarakat Indonesia. Bukan mengkerdilkan masyarakat Indonesia bagai bocah yang tak tau apa-apa. Tapi sayangnya politisi kita memang pintar memanfaatkan keadaan. Alih-alih mengadakan diskusi panel terbuka soal apa itu liberalisme (tentu diskusi yang berimbang), alih-alih mengedepankan isu toleransi agama, alih-alih mendidik, politisi kita memilih membodohkan masyarakat kita. Mereka paham benar bahwa sebagian besar masyarakat sangat sensitif terhadap kedua isu tersebut. Jangan pilih yang Neo-Lib, pilih yang berjilbab.
Yang perlu disesalkan tidak lain realita kampanye masih berupa kampanye agresif, saling-serang. Sedikit sekali pemaparan visi dan misi, cuma dagelan menjurus black champaign yang kontraproduktif. Mereka bilang ini bagian pembelajaran politik dan demokrasi yang masih muda. Semoga benar begitu, dan semoga bangsa ini banyak belajar.