Sepakbola modern bukan lagi permasalahan teknik, supporter, dan kebanggan klub belaka. Sepakbola sebagai sebuah industri yang bergerak sesuai prinsip-prinsip ekonomi. Mudah saja mengatakan Eropa sebagai kiblat sepakbola dunia saat ini. Klub-klub Eropa mengiming-imingi pemuda-pemuda bertalenta dari seluruh pelosok dunia untuk bermain di klub mereka. Persaingan yang menggelitik penulis untuk menjawab pertanyaan “siapakah yang akan menjadi liga sepakbola terbaik?”
Pertanyaan ini tidak akan dijawab dengan cara normal. Mari kita keluar sedikit dari pola pikir teknis ataupn kecintaan pada klub atau liga kesayangan masing-masing. Kita persempit ruang data kita dengan mengambil Italia, Spanyol, Belanda, Inggris Jerman sebagai perbandingan (keempat negara tadi tidak dapat disangkal lagi sebagai negara-negara Eropa dengan tradisi sepakbola yang kuat, tanpa maksud mengesampingkan liga-liga potensial seperti Perancis, Rusia, dll). Kemudian asumsikan liga terbaik adalah liga berisi klub-klub yang mampu menyedot pemain-pemain bintang sebanyak-banyaknya. Saatnya menggunakan common sense ekonomi kita. Seorang pesepakbola sejatinya merupakan homo economicus yang tergerak berdasarkan insentif (prinsip dasar ekonomi). Jika diibaratkan secara ekonomi kita dapatkan fungsi preferensi pemain (P) di sebuah klub/liga dapat kita tulis sebagai
P ( W)
sedangkan untuk fungsi preferensi pemain bintang (P*)
P *( W,t)
Artinya jika pemain biasa preferensinya hanya dipengaruhi gaji (W), maka preferensi pemain bintang di sebuah klub yang dipengaruhi dua faktor ekonomi yaitu, gaji (W) dan individual income tax rate (t), karena gaji yang tinggi akan tergerus pajak secara progresif pula. Sekarang asumsikan bahwa tiap klub di dunia punya purchasing power yang sama dan menghadapi budget constraint yang sama pula. Implikasinya, jika “Pipo” Inzaghi mau bergabung asalkan dibayar 40 juta dollar, maka baik Ajax , Manchester, dan Napoli bersedia membayar dengan jumlah tersebut. Lalu, apakah yang mempengaruhi pilihan sang pemain? Ya, pajak penghasilan yang harus dia tanggung. Sekarang, mari kita lihat tabel perbandingan dari sumber www.worldwide-tax.com di bawah ini: (asumsi tambahan, sulitnya mencari tingkat pajak untuk ekspatriat memaksa penulis menganggap income tax pribumi sama dengan ekspatriat)
Negara............ Individual Income Tax (progressive)
-----------------------------------------------------------------
Spain.........................................20-40%
Italy..........................................23-43%
England.....................................24-43%
Netherlands...............................0-52%
Germany...................................15-45%
Dengan mengambil patokan tax rate tertinggi maka sepatutnya Inzaghi lebih memilih bermain di Liga Spanyol (40%), dia tidak akan bermain di Liga German (43%) apalagi di di Liga Belanda (52%,) yang berarti memotong lebih dari setengah penghasilannya!
Melihat tabel di atas kita maka dapat diurutkan bahwa liga terbaik dunia adalah, liga Spanyol, liga Italia, liga Inggris, liga Jerman, dan terakhir liga Belanda. Liga Spanyol adalah yang terbaik, atau (karena hanya selisih 1-2%) dapat dikatakan liga spanyol, itali, dan Inggris adalah liga terbaik Eropa.Tentu dengan memakai logika liga terbaik adalah liga yang mampu menyedot pemain bintang sebanyak-banyaknya. Pemain bintang sebagai makhluk rasional tentu akan memilih tempat dengan pajak rendah. Lebih realistis, hipotesa ini mungkin dapat menjelaskan mengapa liga Belanda dan Liga Jerman mempunyai sedikit sekali pemain bintang (bergaji tinggi) padahal Belanda tiap tahunnya menghasilkan pemain-pemain muda berbakat. (mungkin bisa menjadi saran bagi pemerintah Belanda dan Jerman untuk memangkas pajak untuk mengembangkan liga mereka.
Tentu tulisan ini sama sekali bukanlah sebuah kesimpulan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Banyak sekali faktor-faktor baik ekonomi maupun non-ekonomi yang diasumsikan ceteris paribus. Tetapi sangat menarik melihat bagaimana adanya kemungkinan fiscal policy sebuah negara mempengaruhi dunia sepakbola.
Nb: Tidak ada tendensi apapun pada tulisan ini. Meskipun dalam tulisan ini Liga Spanyol adalah yang terbaik, penulis tetap dalam keyakinan teguh bahwa liga Italia adalah yang terbaik, dan klub terbaik tentu saja Juventus !
4 comments:
Menurut gw faktor yang lebih tepat yang menjadi insentif pemain adalah Disposable income/Yd (pendapatan setelah pajak) dan dalam analisa lebih baik juga memperhitungkan perbedaan kemampuan daya beli klub. Dengan itu mungkin akan lebih pas dengan kejadian yang sebenarnya.
Misal: Jika Yd pemain lebih besar ketika dia bermain di EPL dibandingkan Liga Spanyol dia akan lebih memilih EPL walaupun dengan Tax rate yang lebih besar.
Mungkin hal itu yang menjelaskan kenapa Xabi Alonso dan Fernando Torres pindah dari Spanyol ke EPL. Serta menjelaskan pula kenapa Luca Toni pindah dari Italy ke Germany.
okeh deh om...
maksud gw gini, asumsi yang gw pake ingin menunjukkan one-variable effect aja...jadi misalnya in the long-run seluruh negara Eropa perekonomiannya relatif dalam akselerasi dan posisi yang sama, dianggap bahwa klub2 bola pun akan kena mbas sehingga ada asumsi puchasing powernya sama juga..
jadi tinggal tax yang bepengaruh pd preferensi pemain..
Emang bukan untuk tujuan realistis kok, cuman mau liat kemungkinan adanya efek keijakan fiscal sebuah negara dengan sepakbola..
Tapi boleh juga tuh saran om, ntar siapa tau kita bisa bikin model yang lebih realistis...hehehe
Iya gw ngerti kok maksud lo...
Tp dlm mmbuat model (walalupun yang sederhana sekalipun) menurut gw kejadian sebenarnya harus menjadi patokan...meskipun tidak mungkin kita memasukan seluruh variable yang ada dan selalu membutuhkan asumsi.
Boleh2 kapan2....kapan ya? kekekekek
sebenarnya patokan realistisnya ya itu tadi...kok jerman dan belanda sepi pemain bintang..nah mau liat aja faktor laen di luar daya beli klub...
bener nih kita bikin model ekonomi di sepakbola y...
Post a Comment